Photobucket
Thursday, March 29
TV DAN PENONTON BUATAN
Kecaman terhadap media televisi yang dianggap memuat teks-teks kebodohan telah lama dikumandangkan banyak orang. Program-program seperti kuis, sinetron, gosip, mistik, kekerasan, dan sebagainya, dilabeli dengan berbagai cap: anti-logika, anti-kecerdasan, atau selera primitif. Dan seperti biasa, tombak-tombak intelektual ini ditangkis dengan tameng yang diproduksi paham positivisme dengan merk ‘selera masyarakat’.

Dari sekian banyak teori tentang hubungan media dan khalayak, kiranya ada tiga yang bisa dikemukakan disini. Pertama, Teori Jarum Hipodermik. Teori ini mengemukakan kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif tak berdaya. Kekuatan media yang mempengaruhi khalayak ini beroperasi seperti jarum suntik, tidak kelihatan namun berefek.

Kedua, Teori Agenda Setting. Dengan napas yang nyaris serupa, teori ini mengatakan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pada teori ini, media tidak menentukan what to think, tetapi what to think about. Teori ini berdiri atas asumsi bahwa media atau pers does not reflect reality, but rether filters and shapes it, much as a caleidoscope filters and shapes it (David H. Heaver, 1981). Dari sekian peristiwa dan kenyataan sosial yang terjadi, media
massa memilih dan memilahnya berdasarkan kategori tertentu, dan menyampaikan kepada khalayak – dan khalayak menerima – bahwa peristiwa x adalah penting.

Dan yang ketiga adalah Teori Kegunaan dan Kepuasan (uses and gratification theory). Teori ini secara radikal menandai pergeseran fokus pandangan dari apa yang media lakukan untuk khalayak menjadi apa yang orang lakukan terhadap media. Asumsinya tentu saja karena khalayak itu sangat aktif. Para pendukung teori ini menyatakan bahwa orang secara aktif menggunakan media massa untuk memuaskan kebutuhan tertentu yang dapat dispesifikasikan (Lull, 1998). Dan karenanya terpaan media belum tentu diterima dan ditiru oleh khalayak.

Kiranya teori yang terakhir inilah yang dipakai oleh Ishadi SK – saat berpolemik di harian Kompas (25-9-2003 dan 3/10/2003) – dalam menangkis kecaman garang para pengkritik. Saya setuju saat ia mengatakan kekerapan terpaan sebuah acara apakah itu kriminal, erotis, atau acara populer lain tidak otomatis berpengaruh terhadap perilaku penonton. Seorang anak yang menonton pembunuhan ribuan kali di televisi tidak serta merta menjadi pembunuh ketika dia dewasa (25/9/2003).

Tak heran ketika merespon protes Direktur Pendidikan Sekolah Menengah Umum Diknas, Suharlan, tentang banyaknya tayangan mistik yang membuat pemikiran kita mundur sekian abad ke belakang (Kompas, 26/8/2003), Ishadi dengan enteng menjawab bahwa itu mengada-ada dan simplistis. Secara teoritis, kajian tentang dampak media
massa (televisi) memang tidak bisa dijawab dengan hitam putih.

Namun demikian, ‘kematian’ tentang studi efek media massa harus benar-benar dicermati. ‘Kematian’ itu tidak boleh ditanggapi sebagai pembenaran untuk melakukan program pembodohan dan anti-logika. Sebab ‘kematian’ tersebut bukan hanya berarti khalayak belum tentu terpengaruh oleh terpaan media, melainkan juga belum tentu tidak terpengaruh! Oleh karena itu logika Ishadi tadi tampak sedang menggali kuburannya sendiri.

Konstruksi Realitas

Noeng Muhadjir (2000) mengatakan bahwa saat hendak melakukan penelitian, banyak orang langsung berbicara populasi, teknik sampling, merumuskan masalah, mendesain tata relasi, merancang instrumen instrumen kuantifikasi data, dan seterusnya, tanpa menyadari bahwa dia telah menjadi penganut filsafat ilmu tertentu.

Kebiasaan ini umum terjadi, pun dalam dunia komunikasi/televisi. Saat hendak mengetahui jumlah penonton, pihak peneliti langsung menentukan populasi beserta sampelnya untuk kemudian digeneralisasi sebagai fakta bahwa sekian persen orang menonton program A. Atau seperti dalam iklan, 7 dari 10 perempuan Indonesia menggunakan shampo B. Dalam ilmu komunikasi di Indonesia, pendekatan Objektif-Positivistik-Kuantitatif semacam ini memang masih mendominasi.

Dalam filsafat ilmu, hukum generalisasi dan reduksi yang linear ini sedang mengalami krisis hebat. Sebab ada keyakinan bahwa setiap manusia itu berbeda dan unik. Masyarakat bukanlah terdiri dari satu entitas yang homogen (yang karenanya bisa diukur), tetapi terdiri dari banyak ragam kepribadian yang kompleks. Dan karenanya perilaku aperiodik instabil akan selalu dapat ditemukan pada sistem-sistem yang dalam kacamata statistik sederhana.

Dan kenapa pendekatan kuno ini masih menjadi mainstream dalam ilmu komunikasi, jawabannya bukanlah karena ia begitu diminati dan karenanya tidak ditinggalkan, seperti yang dikatakan oleh agen-agen (asing) pendukungnya. Sebab, mengikuti Deddy Mulyana (2001), itu tak lebih karena para mahasiswa telah diberi ‘kacamata kuda’ begitu masuk perguruan tinggi. Dalam mata kuliah Metode Penelitian Sosial atau Metode Penelitian Komunikasi, mahasiswa langsung dicekoki dengan konsep-konsep berbau positivistik, seperti hipotesis, variabel bebas, variabel terikat, populasi, reliabilitas, validitas, dan sebagainya.

Setelah kita menjernihkan mengapa pendekatan kuantitatif masih saja mendominasi ilmu komunikasi di Indonesia, dan mengetahui betapa teks-teks kultural yang dihasilkan sejumlah program televisi banyak menuai kecaman, maka perdebatan selanjutnya, menurut hemat saya, adalah dasar dari semua ini, yakni apa yang disebut pendekatan behaviorisme radikal, yang juga masih merupakan anak dari Positivisme.

Selama ini cara mengetahui apakah seseorang sedang menonton sebuah program acara adalah melalui alat yang disebut peoplemeter, dimana alat ini dipasang di televisi responden terpilih. Diharapkan setiap anggota rumah tangga yang menonton televisi akan memencet tombol di handset dan memencet lagi seusai menonton.

Penelitian yang dilakukan berdasarkan perilaku permukaan ini sesuai dengan kaidah behaviorisme radikal. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua hewan, termasuk manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara langsung dan seksama. Lebih jauh behaviorisme radikal menolak gagasan bahwa manusia memiliki kesadaran, bahwa terjadi suatu proses mental tersembunyi yang berlangsung pada diri individu diantara datangnya stimulus dan bangkitnya perilaku.

Pendekatan ‘gila’ ini segera mendapat respon dari sejumlah aliran filsafat, seperti interaksionisme simbolik. Para penganutnya memandang bahwa pendekatan behaviorisme radikal tidak memungkinkan seorang peneliti untuk mendapatkan latar alamiah dari apa yang sedang diteliti. Menempatkan manusia dalam lingkungan buatan akan membuat subjek berperilaku tidak alamiah karena tahu sedang diteliti, sebagaimana hewan juga akan berperilaku lain ketika mereka berada dalam lingkungan buatan seperti kebun binatang, apalagi laboratorium (Mulyana, 2001).

Mereka, kata kaum interaksionis simbolik, tidak akan mampu membedakan manusia dengan hewan. Padahal aktivitas tersembunyi (kesadaran) inilah yang justru membedakan perilaku manusia dengan perilaku hewan. Mereka membuang kehendak bebas manusia untuk menyalakan televisi sebagai sekedar mengalihkan perhatian sambil menunggu temannya datang, sekedar membaca runing text yang terus bergerak di layar bawah televisi, atau sekedar tidak terlalu sunyi.

Djati Koesoemo yang dikutip Garin Nugroho (1995) mengatakan, “orang yang menonton televisi belum tentu suka akan tontonan itu. Seringkali mereka menonton sambil ngedumel”. Dan dalam kasus-kasus seperti ini, sebagaimana diungkapkan James Lull (1998), “penggunaan media oleh khalayak tak dapat dianggap benar-benar merupakan respon terhadap kebutuhan biologis atau psikologis. Kalaupun dinyatakan begitu, itu jelas berlebihan”.

Kaum behavioris ini seperti tidak sadar bahwa mereka sedang mengkonstruk pemirsa yang mereka inginkan melalui alat (tool). Mereka bagaimanapun bisa dipandang telah mereduksi perilaku manusia kepada mekanisme yang sama dengan yang ditemukan pada hewan lebih rendah! Dan ini adalah sebuah penghinaan!

Di tengah kekacauan Sistem Sosial-Kultur Indonesia, kita memerlukan suatu keterbukaan untuk melampaui batas-batas metodologis yang disediakan para provider asing itu. Dan keterbukaan itu, seperti kata Agus Nggerwanto (2001), memerlukan seperangkat intuisi yang reflektif agar mampu mengalami lompatan imajinatif untuk melampaui yang partikular menuju pemahaman yang menyeluruh, yakni media massa tidak saja berfungsi untuk melayani selera-budaya, tetapi juga mendidik-cerdaskan selera-budaya!



REVOLUSI PENDIDIKAN
Ada sesuatu yang terasa ganjil di lingkungan masyarakat pendidikan. Pola-pola pendidikan yang monologis, banyaknya dosen yang tidak mengikuti perkembangan wawasan keilmuan, serta tidak adanya kehendak untuk memberikan ruang bagi ekspresi pemikiran yang liar sekalipun, merupakan dampak dari suatu pemisahan kegiatan belajar mengajar di kelas dengan kehidupan sehari-hari. Padahal kehadiran universitas yang bercikal bakal di Yunani dahulu kala dimaksudkan untuk mengembangkan kebebasan berpikir, diskusi-diskusi dan simposium-simposium. Bila kita cermati benar-benar, pola pendidikan yang berlaku saat ini di Indonesia hanyalah berorientasi pada berapa jumlah mahasiswa yang telah dihasilkan oleh suatu institusi pendidikan. Tidak ada pengembangan ilmu, dan karenanya tak heran jika peringkat universitas
Indonesia secara keseluruhan saat ini berada pada titik yang paling memalukan.

Kiranya ada tiga hal yang membuat universitas begitu mandul dalam melahirkan pemikiran-pemikiran baru, yaitu permasalahan epistemologi paradigma, pemisahan universitas negeri dan swasta serta mahalnya biaya sekolah serta buku-buku.

Epistemologi Paradigma
Ada semacam julukan yang diperuntukkan bagi institusi-institusi pendidikan yang tidak menyentuh masyarakatnya, yaitu universitas menara gading. Istilah menara gading dapat diartikan sebagai suatu komunitas masyarakat terdidik yang tidak menyentuh kendala-kendala dari dunia-nyata. Komunitas ‘makhluk-makhluk bercahaya’ itu pernah disindir oleh Albert Einstein – dalam suratnya kepada Ratu Belgia – sebagai “suatu dusun yang aneh dan sangat santun, yang dihuni oleh makhluk-makhluk setengah dewa yang berjalan dengan jangkungan.”

Tapi apa yang menyebabkan sebuah komunitas terdidik terlepas dari dunia-nyatanya? Apakah itu semata dorongan kemalasan dan gengsi untuk turun ke lapangan? Atau paradigma yang digunakan memang membatasinya untuk melihat dunia-nyata? Disini bisa dikatakan bahwa semuanya bekerja secara sinergis dalam membatasi ‘penglihatan’ terhadap dinamika masyarakat.

Dalam kehidupan universitas, paradigma adalah semacam kunci untuk melihat dunia. Dalam bahasa Thomas Kuhn, itu adalah kesepakatan warga akademis dalam memberi fondasi bagi aplikasi selanjutnya. Yang menjadi pertanyaan disini tentulah apa paradigma yang digunakan sehingga sehingga mereka terlihat terkurung dalam isolasi intelektualnya? Banyak pakar yang menganggap bahwa kemandegan itu bersumber dari paham-paham materialisme dengan seluruh ahli warisnya, terutama positivisme.

Positivisme, dengan tokoh besarnya August Comte, memang telah menghegemonikan prosedural penelitian ilmu alam kepada seluruh disiplin ilmu lainnya. Comte pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang sahih selain yang mengikuti cara-cara ilmu alam. Tapi kita juga mesti menyadari bahwa pada waktu itu memang ada semangat untuk menghormati fisika sebagai pengganti filsafat. Menurut Immanuel Walerstein, “begitu kerja empiris eksperimental menjadi lebih sentral dalam dunia ilmu, maka filsafat oleh para ilmuwan alam dipandang sebagai pengganti teologi belaka, yang sama-sama bersalah atas pernyataan-pernyataan kebenaran a priori yang tak dapat diuji.” Dan pada perkembangannya, filsafat yang bertumpu pada aliran idealisme dengan segala variannya telah dilemparkan ke pojok yang paling pengap dari universitas.
Ada semangat untuk pencapaian keadaan objektif melalui pengukuran (selain alasan yang menganggap filsafat sebagai suatu disiplin yang berbahaya).

Dan dengan berbagai faktor seperti betapa bergengsinya ber-fisika, maka seluruh ilmu-ilmu kemanusiaan pun lantas mengikuti jalan fisika sebagaimana yang diproklamirkan oleh Comte itu. Bahkan argumen fisika klasik yang menyatakan bahwa materi itu diam dan pasif – dan karena diam-nya itu maka materi dapat diukur – diadopsi bulat-bulat oleh ilmuwan sosial yang menganalogikan materi itu sebagai masyarakat. Semenjak itu pula, dalam semangat pengukuran, manusia mulai dianggap sekedar angka-angka. Intelejensia manusia pun mulai diukur dalam bentuk IQ. Bahkan sempat ada mitos bahwa IQ itu tetap dan tidak berubah, sebelum akhirnya digusur oleh EQ, SQ yang kemudian dirangkum oleh Agus Nggermanto dalam Quantum Quotient (QQ).

Positivisme yang menganggap kriterium kebenaran bergantung pada keterukuran dan bebas nilai pada hakikatnya telah membutakan para ilmuwan dalam melihat kebobrokan masyarakat serta kewajiban emansipatorisnya. Mereka tidak mampu melihat sebuah kesalahan atau kebenaran karena memakai kacamata yang bermerk ‘generalisasi bin reduksionis yang determinat’. Bagi mereka cukup untuk memungut beberapa sampel saja untuk kemudian mengklaim itu sebagai representasi dari keseluruhan. Tak heran jika pribadi-pribadi hilang. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang memiliki jiwa, nafsu, pemikiran dan kehendak bebas, diredusir menjadi kepingan-kepingan mesin yang kemudian disusun menurut teknik
baku yang siap pakai.

Melihat ini Albert Camus bereaksi dengan mengatakan bahwa “jika orang direduksi sampai hanya menjadi karakter di dalam sejarah maka ia tidak memiliki pilihan lain selain turun menjadi suara dan kegeraman penuh amarah dari suatu sejarah irasional yang lengkap!” Sementara itu Ian Stewart, Profesor Matematika dan pakar teori chaos mengatakan dengan tegas bahwa semua generalisasi adalah keliru!

Sifat-sifat generalisasi, reduksi, linear dan objektif itu pada dasarnya menafikkan suatu perubahan. Walaupun mereka tetap mengakui bahwa masyarakat mengalami proses dalam tingkatannya masing-masing, namun pada dasarnya paradigma yang mereka anut justru bertentangan dengan makna proses itu sendiri! Penelitian-penelitian yang digunakan akademisi seperti itu justru menghasilkan hasil-hasil penelitian yang bersifat final. Dan karena proses perkembangan masyarakat adalah tak terduga sangking dinamisnya, maka tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa hasil-hasil penelitian semcam itu akan segera masuk keranjang sampah karena sudah tidak up to date. Mereka jelas akan mengalami kesulitan ketika menemui suatu realitas ganda. Meminjam istilah Donny Gahral Adian, mereka-mereka itu adalah intelektual teknis yang menggunakan keahlian mereka untuk mengabdi pada status quo!

Setiap kita tahu bahwa universitas adalah jantungnya bagi sebuah negara. Karena itu sudah saatnya seluruh civitas akademika untuk melakukan tindakan emansipatoris terhadap lingkungan dengan cara menggusur terlebih dahulu paradigma yang selama ini bertengger di setiap kepala kita, yang begitu mengakar pada para otoritas pendidikan.

Paradigma lama yang mempersepsikan sesuatu diluar kita sebagai objek harus kita runtuhkan. Banyak pakar yang menyebutkan bahwa paradigma itu benar-benar mengabaikan apa yang sebenarnya kita miliki secara alamiah, yaitu aspek-aspek mental. Dan tak heran bila Deddy Mulyana menuding bahwa negeri ini telah begitu banyak menghasilkan sarjana-sarjana bermental rendah. Menurutnya inilah salah satu alasan mengapa negara kita begitu subur dengan berbagai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang pada gilirannya telah membawa manusia pada krisis moral, politik dan ekonomi yang dahsyat pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Banyak pemimpin kita yang ternyata penggarong harta rakyat, termasuk mereka yang bergelar Profesor dan Doktor.

Dan kini epistemologi itu telah direvolusi oleh epistemologi baru dalam domain Idealisme. Saat ini kita tidak bisa lagi mempersepsikan manusia di luar kita sebagai objek yang bisa diukur, sebagaimana dalam metodologi materialisme-positivisme-mekanistik. Sebab manusia memiliki jiwa dan perasaan. Manusia bukan sekedar mesin-mesin organis. Dengan menempatkan manusia lain sebagai objek, kita tidak akan benar-benar mengetahui apa yang sebetulnya diinginkan olehnya. Sebab respon seseorang atau masyarakat ketika menghadapi suatu situasi tidaklah bersifat mekanis dan tidak ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Individu atau masyarakat memiliki kemampuan untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Setiap individu memiliki potensi yang sama besarnya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Bahkan diakui bahwa kecerdasan itu datang tidak bertahap, melainkan melompat tanpa dapat diperkirakan sebelumnya.

Untuk mengeksplorasi hal tersebut, sebagai bagian dari pengabdian kampus terhadap masyarakat, selayaknya kita menggunakan perspektif subjektif, yaitu suatu proses pengambilan peran. Kita selayaknya ‘mengambil’ secara utuh pola pikir mereka seraya kita terus memberi contoh tentang bagaimana persaingan individu dapat memacu suatu kemajuan sosial. Kita ‘menyatu’ dengan mereka, sebab kita juga adalah masyarakat yang hanya sedang ‘diasingkan’ untuk kemudian dikembalikan lagi ke masyarakat. Ini adalah proyek besar, dan karenanya kita di dalam kampus sendiri yang sudah begitu pengap mesti melakukan suatu penggusuran dalam rangka mengembalikan kedaulatan mahasiswa untuk menganalisis dan berpikir sebebas-bebasnya. Bagi masyarakat, revolusi yang kita lakukan kedalam ini mungkin tidak akan terasa langsung. Tapi kita hanya berusaha untuk melakukan sesuatu yang lebih baik bagi
Indonesia mendatang. Meminjam istilah Taufik Ismail, kita sudah terlalu lama malu jadi orang
Indonesia!

Mungkin banyak yang akan mengatakan bahwa itu terlalu idealis. Padahal dalam gelombang ketiga ini, pertentangan antara idealisme dan pasar (yang tak pernah jelas definisinya) adalah sudah usang! Kita dapat membaca perkembangan bagaimana karya-karya yang ideal justru laku di pasaran. Pertentangan itu hanya terjadi jika menggunakan perspektif materialisme, yaitu kita akan kita menganggap masyarakat itu objek, yang pasif dan bodoh.

Moto kampus sebagai penggerak perubahan dapat kita jadikan semangat yang membara untuk melakukan suatu revolusi pola pikir, revolusi epistemologi, dan pada gilirannya revolusi pendidikan. Menurut Everett Reimer, selama ini sekolah justru memancing perlawanan terhadap pendidikan yang memaksakan pengajaran yang tidak dikehendaki. Untuk itu kita semua membutuhkan suatu konsepsi yang bersifat visioner. Kita membutuhkan kampus yang makhluk-makhluknya terdiri dari jiwa-jiwa yang kreatif, bebas dan futuristik. Sebab, kampus adalah tempat lahirnya ide-ide baru.

Pemisahan Universitas Negeri dan SwastaKepada para mahasiswa swasta. Sadarkah kita bahwa negara telah berbuat sedemikian jahatnya kepada kita? Kami yakin bahwa logika pemisahan ini terkait erat dengan pola pikir materialisme yang telah terbiasa memecah realitas agar dapat mempelajarinya. Mari kita lihat sejenak bagaimana ini bisa terjadi.

Negeri ini sepertinya sangat suka sekali memisah-misahkan rakyatnya berdasarkan aturan main feodalisme. Di kereta api, ada kelas eksekutif, bisnis atau pun ekonomi yang sepertinya hanya pantas untuk ditempati oleh kambing-kambing, dikarenakan tidak manusiawinya kelas ekonomi itu untuk mengangkut manusia. Perbedaan kelas seperti itu dapat kita jumpai juga di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Bukankah suatu keganjilan adanya universitas negeri yang ditopang oleh negara dalam masalah fasilitas dan universitas swasta yang minim fasilitas? Mengapa negara harus memisahkan universitas menjadi dua bagian? Mengapa negara membantu pendanaan universitas tertentu? Mereka anggap apa mahasiswa swasta itu?

Kita sebagai generasi muda, yang dengan berani kita klaim masih berpikiran jernih dan masih berpihak dengan idealisme dalam pengertian umum, harus tergerak melihat fenomena pendidikan di negeri kita yang tercinta ini. Apakah salah kita kalau kita tidak masuk universitas negeri? Mungkin ketika kita tidak lulus UMPTN, kita berpikir kalau kemampuan kita terbatas dibandingkan dengan mereka yang lulus UMPTN. Tetapi jika kita melihatnya secara kritis, bukan sekedar inderawi yang menjadi sahabat materialisme, itu bukanlah sepenuhnya salah kita! Itu dikarenakan bangku perguruan tinggi negeri yang disediakan negara terbatas! Permintaan lebih besar dari kemampuan!

Negara ini begitu jahat karena bagi mereka-mereka yang tidak mendapat jatah pendidikan dari negara malah dicap secara tidak langsung sebagai sebagai warganegara kelas dua dalam pendidikan tanpa merasa perlu memikirkannya lebih lanjut. Akibat lainnya, pertama, sulitnya kita bersaing dalam dunia nyata, karena pasar di luar
sana telah termakan image yang diciptakan penguasa tadi. Kedua, dengan sistem seperti itu, secara tak langsung telah menumbuhkan keminderan dan sifat lembek serta malas belajar dari dalam dirinya sendiri.

Setelah itu kita melihat betapa enaknya universitas negeri, sehingga sangat wajar jika mahasiswa-mahasiswanya pintar-pintar, kritis dan juga arogan. Yang terakhir sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, tetapi itu bukanlah kemauan mereka. Itu ulah penguasa yang – mungkin sudah buntu pikirannya – sengaja menciptakan polarisasi mahasiswa Indonesia supaya dapat selalu dikontrol, supaya mahasiswa
Indonesia sulit bersatu. Rasanya jelas bahwa pemisahan ini hanya bersifat politik administrasi dan bukan atas alasan pengembangan intelektual.

Mahalnya Sekolah serta Buku-BukuPada bagian ini rasanya kita tidak perlu berpanjang-panjang. Mahalnya biaya sekolah dan buku-buku telah kita rasakan betul dalam keseharian kita. Terlihat sudah betapa untuk bisa cerdas membutuhkan biaya yang tidak murah. Lupakah orang-orang tua penguasa itu bahwa sekolah, pemuda dan buku merupakan aset dari kehidupan bernegara yang berkualitas?

Sekolah terlalu mahal untuk menjadi suatu sistem pendidikan yang katanya universal. Mahalnya pendidikan adalah bukti betapa sekolah justru melestarikan ketidakmerataan! Sekolah semestinya terjangkau untuk semua orang. Ini penting supaya kesenjangan antara si pintar dan si bodoh dapat dikurangi. Dan tentu saja ini tidak terlepas dari kesenjangan yang juga terjadi dalam bidang ekonomi, yaitu antara si kaya dan si miskin.Apa-apa yang kita tuntut ini memang menuju suatu kemapanan. Tapi kemapanan yang kita maksudkan berbeda secara definif dengan kemapanan yang terjadi selama ini, yang telah mengandung korban yang siap merongrong didalam dirinya sendiri. Kemapanan yang kita inginkan adalah kebebasan yang dinamis dan produktif. Kemapanan yang selalu terbuka terhadap seluruh pertanyaan dan mampu berubah cepat. Kita tidak menginginkan kapitalisme purba dan sosialisme ilmiah. Tapi kita menginginkan jiwa kapitalisme dan sosialisme sebagaimana adanya. Kita tidak ingin dicekoki banyak pelajaran-pelajaran yang tidak kita kehendaki. Kita hanya menginginkan pelajaran yang memang ingin kita pelajari sebagai bekal kita hidup kelak.

Kita sudah besar. Idiom ‘bapak lebih tahu’ sudah runtuh di gelombang ketiga ini. Kita tahu bagaimana semestinya memperlakukan teman main. Kita tahu bagaimana semestinya berpakaian. Kita tahu bahwa kita punya otak dan hati nurani. Dan kita juga tahu bahwa kesadaran yang kita miliki bersifat ilahiah.Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak benar-benar apa yang dikatakan seorang filosof besar yang bernama Aristoteles: barang siapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia, pasti yakin bahwa nasib sesuatu imperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya!



Sunday, March 25
BUMI GONJANG-GANJING, ZODIAC PUN BERUBAH
Bencana demi bencana menimpa dunia saat ini. Para ahli berpendapat, ini terjadi karena perubahan iklim global. Penyebabnya rusaknya lingkungan, lubang ozon semakin meluas dan pemanasan global yang mencairkan es di kutub dan akan menimbulkan banjir.

Sebenarnya bencana juga disebabkan oleh masalah astronomi yakni perubahan posisi bumi terhadap matahari dan benda langit lainnya..Menurut William Buckland, profesor Geologi dan Mineralogi dari Universitas Oxford, dalam buku in The Connection of Geology with Religion Explained, menyatakan, pada Tahun 1840-an para astronom sudah punya keyakinan bahwa perubahan iklim global itu disebabkan masalah astronomi.

Saat itu para astronom mengamati bahwa orbit bumi mengalami perubahan perlahan-lahan akibat pengaruh gravitasi matahari, planet dan benda-benda langit lainnya.

Akibat 'gonjang-ganjing' bumi ini, kutub utara bumi nantinya tidak lagi menunjuk kepada Bintang Utara, tetapi sudah bergeser mendekati Bintang Vega. Pada 13.000 tahun mendatang posisi kutub utara bumi akan menyimpang sekitar 47 derajat menunjuk Bintang Vega. Akibatnya, 'tatanan' musim di bumi juga berubah, demikian juga dengan iklimnya.

Kapan perubahan ini akan menemukan 'puncak'? Suku Maya yang cerdas tetapi misterius tinggal di wilayah selatan Meksiko sekarang (Yucatan) Guetemala, bagian utara Belize dan bagian barat Honduras meramalkan bahwa pada 2012 akan terjadi perubahan radikal pada bumi.

Sejarawan Amerika, Dr Jose Arguelles yang mendalami ramalan suku Maya melalui bukunya The Mayan Factor: Path Beyong Technology menyebutkan bahwa dalam penanggalan Maya tercatat sistem galaksi tata surya kita sedang mengalami siklus besar yang berjangka lima ribu dua ratus tahun lebih. Waktunya dari 3113 SM sampai 2012 M.

Dalam siklus besar ini, tata surya dan bumi sedang bergerak melintasi sebuah sinar galaksi yang berasal dari inti galaksi. Diameter sinar secara horizontal ini ialah 5125 tahun bumi.

Orang Maya percaya bahwa semua benda angkasa pada galaksi setelah selesai mengalami reaksi dari sinar galaksi dalam siklus besar ini, akan terjadi perubahan secara total, orang Maya menyebutnya, penyelarasan galaksi.

Nah siklus itu akan mencapai puncak tepatnya 31 Desember 2012 yang akan menjadi hari berakhirnya peradaban umat manusia. Dalam ramalan itu manusia akan memasuki peradaban baru total yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan peradaban sekarang.

Pada hari itu, saat musim dingin tiba, matahari akan bergabung lagi dengan titik silang yang terbentuk akibat ekliptika (jalan matahari) dengan ekuator secara total.

Saat itulah, matahari tepat berada di tengah-tengah sela sistem galaksi, atau dengan kata lain galaksi terletak di atas bumi, bagaikan membuka sebuah 'pintu langit' bagi umat manusia.


Zodiak Berubah
Ilmu astrologi dibangun pada masa kejayaan tradisi Babylonia dan Yunani kuno (sekitar abad ke-5 SM). Saat itu diketahui matahari beredar mengelilingi langit satu putaran penuh dalam satu tahun (dalam pelajaran geografi kita menyebutnya "gerak semu tahunan matahari".

Para astrolog pada zaman itu membagi wilayah langit yang dilalui matahari yang berbentuk sabuk menjadi 12 bagian dan masing-masing bagian dihuni satu rasi bintang. Ke-12 rasi ini disebut zodiak. Saat posisi matahari berada di dalam rasi tertentu--misalnya rasi Aries, maka orang yang lahir pada saat itu dikatakan berzodiak Aries.

Nah karena bumi posisinya berubah sabuk zodiak juga bergeser sedikit. Dalam ilmu astronomi modern pergeseran ini disebabkan oleh gerak bumi yang menyebabkan titik potong lingkar ekliptik dan lingkar ekuator dalam tata acuan koordinat bumi begeser.

Efeknya, tiap tahun pada tanggal dan jam yang sama, matahari tidak berada di lokasi yang sama. Bergesernya cuma sedikit tapi dalam 70 tahun, pergeserannya hampir satu hari penuh. Dalam rentang waktu lama pergeseran akan sampai menyebakan perpindahan ke rasi lain. Hitung saja dengan membanding era Yunani kuno 2.000 tahun yang lalu, pergeserannya sudah 35 hari! Sudah beda Zodiak.

Pada zaman dulu (2.000 tahun lalu) oleh Ptolomeus wilayah sabuk zodiak dibagi menjadi 12 bagian, namun sejak tahun 1930 IAU (Persatuan Astronom Internasional) membagi wilayah langit menjadi 88 kapling, menyebabkan terjadi perubahan batas wilayah di sabuk Zodiak. Kini di wilayah zodiak muncul sebuah rasi ke-13 yaitu rasi Ophiuchus yang tadinya tidak termasuk dalam jajaran zodiak (yang didefinisikan oleh Ptolomeus).

Dalam hal ini IAU punya pertimbangan sendiri, dan pertimbangan itu berpihak pada kepentingan ilmiah, bukan astrologi. Nah untuk mengikuti perubahan zaman, rasi Ophiucus dimasukkan ke dalam zodiak.

Dengan berubahnya batas wilayah zodiak (oleh aturan baru dari IAU), hal itu juga sebenarnya menyebabkan rentang waktu matahari berada pada zodiak tertentu juga berubah. Dan inilah zodiak berdasar IAU itu yaitu:

1. Pisces (12 Mar-18 Apr)
2. Aries (19 Apr - 13 Mei)
3. Taurus (14 Mei - 19 Jun)
4. Gemini (20 Jun - 20 Jul)
5. Cancer (21 Jul - 9 Ags)
6. Leo (10 Ags - 15 Sep)
7. Virgo (16 Sep - 30 Okt)
8. Libra (31 Okt - 22 Nov)
9. Scorpio (23 Nov - 29 Nov)
10. Ophiucus (30 Nov - 17 Des)
11. Sagitarius (18 Des - 18 Jan)
12. Capricornus (19 Jan - 15 Feb)
13. Aquarius (16 Feb - 11 Mar)
Bagi pecinta astrologi perubahan ini tentu akan membuat kecewa. Pasalnya ada yang telanjur punya nama yang dikaitkan dengan zodiak tertentu. Contoh, nama Leoni itu bertaut dengan zodiak Leo. Dengan pembagian zodiak baru namanya mestinya menjadi Cancerni. hehe.

(resource: Surya)

Thursday, March 15
JAWA TERBELAH-MADURA TENGGELAM
Ini tulisan yg sy copy paste dr seseorang yg mngaku pemerhati setia untuk hasil ramalan Mama Laurent: kejadian atau musibah yang telah terjadi seperti Tsunami di Aceh, Gempa di Yogya, Tanah longsor di Kalimantan, dll adalah merupakan bukti bahwa sebelumnya Mama Lourent telah menghimbau kepada masyarakat indonesia bahwa bencana tersebut akan terjadi entah itu dalam kurun waktu 1 minggu, 1 bulan 6 bln atau lebih yang terpenting kurang dari 1 tahun.

Mama Laurent si manusia Ajaib ini terakhir tgl 19 Juli 2006 memberi penjelasan yang membuat kita merinding, kutipan pembicaraannya beserta gambar petanya saya tampilkan pada blog site ini. Penjelasannya sbb :

1. Saya sudah memberikan gambaran akan terjadinya bencana itu, meskipun anda tidak terlalu percaya dengan statmen saya, minimal anda sudah harus berjaga - jaga.

2. Setelah bencana di Aceh, Kalimantan, Jawa Tengah, dan saat ini sepanjang pesisir Selatan Pantai Pulau Jawa selama periode tahun ini Indonesia masih terus di dera bencana alam yang sama dan akan terjadi di Jawa, Bali dan kembali ke Sumatera.

3. Ada kemungkinan besar Pulau Jawa itu terbelah dua, dan Pulau Madura Tenggelam.

4. Setelah itu bencana kembali ke Sumatera, di Jabar dan Jakarta Raya kena imbas bencana dari Sumatera tsb yg cukup parah, hampir 1/3 kota Jakarta hancur " gambaran saya yaitu sepanjang Jln. Sudirman gedung - gedung sebagian besar runtuh " ucap mama laurent.

Ucapan yang diberikan Mama Lourent terputus, dia merasa ketakutan yang amat sangat dan pamit untuk istirahat.



Thursday, March 1
in memoriam: MAX ARIFIN
Aku tersentak pagi ini. aku masih di depan monitor dan coba2 posting tulisan dan memperbaiki blog ini. saat itu posisi YM ku sedang online. seorang teman tiba tiba mem-BUZZ. aku tersenyum. namun begitu membaca pesan yang nongol di ruang chat, muka saya tiba tiba berubah. ada getaran seperti listrik yang meranggas di sekujuran tubuh.
"pak Max meninggal pagi ini...", begitulah inti dari pesan itu.

Tiba tiba aku teringat sesuatu. baru saja beberapa waktu lalu aq logout dari Friendster. dan aku pun membukanya kembali: aku terkesiap! ingatanku kembali ke satu atau dua hari sebelum sekarang , bukankah aku baru saja meng-add nama lelaki itu sebagai friend di list teman friendsterku, dan requestku telah di approve.
aku nggak tau. apakah yang membuka account pak Max beliau sndiri ato orang lain. tapi yang jelas aku merasakan sebuah sesuatu yang agak aneh. apalagi saat membuat tulisan ini sekarang posisi time access beliau tertera 24 hours.

Pak MAX yang aku kenal
sudah tak terhitung karya karya beliau. mulai dari puisi, cerpen, naskah drama taupun buku buku kebudayaan yang telah beliau tulis dan terbitkan. demikian pula dengan naskah2 yang diterjemahkannya.

terakhir kali aku bertemu dan bersinggungan langsung dengan belau adalah ketika sedang berlangsung Festival Seni Surabaya (FSS 2005). saat itu saya bersama teman2 teater Venorika Unisma adalah peserta, sementara Pak Max adalah juri intinya. pasca pentas di hall Oesman Mansoer, ketika terjadi sarasehan kami sempat terlibat perdebatan dengan cukup keras menyangkut drama realis dan realisme kebudayaan.

ada kalimat terakhir dalam diskusi itu yang sering membuat kami tergelitik, pak Max anti dangdut! menurut beliau, dangdut itu kebudayaan rendah, toh kenyataannya membuat orang2 indonesia bisa semakin tak berkembang nilai, hasrat dan cita rasa intuitifnya.

setelah bubar kami bersalaman. aku masih teringat dengan kehangatan tawa beliau. begitu bersahabat. usai jabat tangan beliau menyambar topi di kepalaku dan coba sedikit meledek. hhmm...aku merindukan kehangatan seperti itu.

kami bertemu kembali beberapa hari kemudian di Universitas Kanjuruhan. kami hanya becanda setelah evaluasi pertunjukan. sesudah itu tidak bertemu lagi. aku hanya dengar terakhir tentang buku beliau yang diterbitkan Pustaka Kayutangan. sesekali aku masih nitip salam ke beliau melalui Mas Malik.

Pak Max. seniman/budayawan/intelektual yang memang dan harus layak sebagai icon seniman Jawa Timur yang konsisten di tengah minimnya karya2 berbobot yang lahir dari tempat ini. beliau, dengan usianya yang sudah semakin menua, tampak sangat perhatian dan energetik. semangatnya menjadi inspirasi dan menggugah semangat sekaligus menjungkirkan logika sederhana bahwa semua orang tua berada pada 'titik serang' alias 'mapan'. pak Max telah membuktikan dedikasinya, menyerang kita dengan semangat, pengetahuan dan pengalamannuya, tepat menusuk kegenitan kita yang masih muda muda.

selamat jalan Pak Max....kami semua menyanyangimu...
kami semua kehilanganmu. ..


Salam

LODZI
www.infectionary.blogspot.com

[blog pak Max :http://www.majapahitan2.blogspot.com]





PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Lodzi Hady's Facebook profile

Previous Posts
Sejarah Kita Sendiri.. | RAMALAN JAYABAYA (JAYABAYA PREDICTION) | Negeri korup yang teramat berengsek! | Keberanian untuk bersyukur | MEMBERI | Siapa yang kejam: Jakarta atau Kamu? | Tak Usah Kita Tengkar ! | Pak Harto Setengah Tiang Vs kita Setengah Sinting? | Siapa seh yang ga pengen senang?... | Aksi - Refleksi Vs NARSISM |