Photobucket
Thursday, March 29
REVOLUSI PENDIDIKAN
Ada sesuatu yang terasa ganjil di lingkungan masyarakat pendidikan. Pola-pola pendidikan yang monologis, banyaknya dosen yang tidak mengikuti perkembangan wawasan keilmuan, serta tidak adanya kehendak untuk memberikan ruang bagi ekspresi pemikiran yang liar sekalipun, merupakan dampak dari suatu pemisahan kegiatan belajar mengajar di kelas dengan kehidupan sehari-hari. Padahal kehadiran universitas yang bercikal bakal di Yunani dahulu kala dimaksudkan untuk mengembangkan kebebasan berpikir, diskusi-diskusi dan simposium-simposium. Bila kita cermati benar-benar, pola pendidikan yang berlaku saat ini di Indonesia hanyalah berorientasi pada berapa jumlah mahasiswa yang telah dihasilkan oleh suatu institusi pendidikan. Tidak ada pengembangan ilmu, dan karenanya tak heran jika peringkat universitas
Indonesia secara keseluruhan saat ini berada pada titik yang paling memalukan.

Kiranya ada tiga hal yang membuat universitas begitu mandul dalam melahirkan pemikiran-pemikiran baru, yaitu permasalahan epistemologi paradigma, pemisahan universitas negeri dan swasta serta mahalnya biaya sekolah serta buku-buku.

Epistemologi Paradigma
Ada semacam julukan yang diperuntukkan bagi institusi-institusi pendidikan yang tidak menyentuh masyarakatnya, yaitu universitas menara gading. Istilah menara gading dapat diartikan sebagai suatu komunitas masyarakat terdidik yang tidak menyentuh kendala-kendala dari dunia-nyata. Komunitas ‘makhluk-makhluk bercahaya’ itu pernah disindir oleh Albert Einstein – dalam suratnya kepada Ratu Belgia – sebagai “suatu dusun yang aneh dan sangat santun, yang dihuni oleh makhluk-makhluk setengah dewa yang berjalan dengan jangkungan.”

Tapi apa yang menyebabkan sebuah komunitas terdidik terlepas dari dunia-nyatanya? Apakah itu semata dorongan kemalasan dan gengsi untuk turun ke lapangan? Atau paradigma yang digunakan memang membatasinya untuk melihat dunia-nyata? Disini bisa dikatakan bahwa semuanya bekerja secara sinergis dalam membatasi ‘penglihatan’ terhadap dinamika masyarakat.

Dalam kehidupan universitas, paradigma adalah semacam kunci untuk melihat dunia. Dalam bahasa Thomas Kuhn, itu adalah kesepakatan warga akademis dalam memberi fondasi bagi aplikasi selanjutnya. Yang menjadi pertanyaan disini tentulah apa paradigma yang digunakan sehingga sehingga mereka terlihat terkurung dalam isolasi intelektualnya? Banyak pakar yang menganggap bahwa kemandegan itu bersumber dari paham-paham materialisme dengan seluruh ahli warisnya, terutama positivisme.

Positivisme, dengan tokoh besarnya August Comte, memang telah menghegemonikan prosedural penelitian ilmu alam kepada seluruh disiplin ilmu lainnya. Comte pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang sahih selain yang mengikuti cara-cara ilmu alam. Tapi kita juga mesti menyadari bahwa pada waktu itu memang ada semangat untuk menghormati fisika sebagai pengganti filsafat. Menurut Immanuel Walerstein, “begitu kerja empiris eksperimental menjadi lebih sentral dalam dunia ilmu, maka filsafat oleh para ilmuwan alam dipandang sebagai pengganti teologi belaka, yang sama-sama bersalah atas pernyataan-pernyataan kebenaran a priori yang tak dapat diuji.” Dan pada perkembangannya, filsafat yang bertumpu pada aliran idealisme dengan segala variannya telah dilemparkan ke pojok yang paling pengap dari universitas.
Ada semangat untuk pencapaian keadaan objektif melalui pengukuran (selain alasan yang menganggap filsafat sebagai suatu disiplin yang berbahaya).

Dan dengan berbagai faktor seperti betapa bergengsinya ber-fisika, maka seluruh ilmu-ilmu kemanusiaan pun lantas mengikuti jalan fisika sebagaimana yang diproklamirkan oleh Comte itu. Bahkan argumen fisika klasik yang menyatakan bahwa materi itu diam dan pasif – dan karena diam-nya itu maka materi dapat diukur – diadopsi bulat-bulat oleh ilmuwan sosial yang menganalogikan materi itu sebagai masyarakat. Semenjak itu pula, dalam semangat pengukuran, manusia mulai dianggap sekedar angka-angka. Intelejensia manusia pun mulai diukur dalam bentuk IQ. Bahkan sempat ada mitos bahwa IQ itu tetap dan tidak berubah, sebelum akhirnya digusur oleh EQ, SQ yang kemudian dirangkum oleh Agus Nggermanto dalam Quantum Quotient (QQ).

Positivisme yang menganggap kriterium kebenaran bergantung pada keterukuran dan bebas nilai pada hakikatnya telah membutakan para ilmuwan dalam melihat kebobrokan masyarakat serta kewajiban emansipatorisnya. Mereka tidak mampu melihat sebuah kesalahan atau kebenaran karena memakai kacamata yang bermerk ‘generalisasi bin reduksionis yang determinat’. Bagi mereka cukup untuk memungut beberapa sampel saja untuk kemudian mengklaim itu sebagai representasi dari keseluruhan. Tak heran jika pribadi-pribadi hilang. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang memiliki jiwa, nafsu, pemikiran dan kehendak bebas, diredusir menjadi kepingan-kepingan mesin yang kemudian disusun menurut teknik
baku yang siap pakai.

Melihat ini Albert Camus bereaksi dengan mengatakan bahwa “jika orang direduksi sampai hanya menjadi karakter di dalam sejarah maka ia tidak memiliki pilihan lain selain turun menjadi suara dan kegeraman penuh amarah dari suatu sejarah irasional yang lengkap!” Sementara itu Ian Stewart, Profesor Matematika dan pakar teori chaos mengatakan dengan tegas bahwa semua generalisasi adalah keliru!

Sifat-sifat generalisasi, reduksi, linear dan objektif itu pada dasarnya menafikkan suatu perubahan. Walaupun mereka tetap mengakui bahwa masyarakat mengalami proses dalam tingkatannya masing-masing, namun pada dasarnya paradigma yang mereka anut justru bertentangan dengan makna proses itu sendiri! Penelitian-penelitian yang digunakan akademisi seperti itu justru menghasilkan hasil-hasil penelitian yang bersifat final. Dan karena proses perkembangan masyarakat adalah tak terduga sangking dinamisnya, maka tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa hasil-hasil penelitian semcam itu akan segera masuk keranjang sampah karena sudah tidak up to date. Mereka jelas akan mengalami kesulitan ketika menemui suatu realitas ganda. Meminjam istilah Donny Gahral Adian, mereka-mereka itu adalah intelektual teknis yang menggunakan keahlian mereka untuk mengabdi pada status quo!

Setiap kita tahu bahwa universitas adalah jantungnya bagi sebuah negara. Karena itu sudah saatnya seluruh civitas akademika untuk melakukan tindakan emansipatoris terhadap lingkungan dengan cara menggusur terlebih dahulu paradigma yang selama ini bertengger di setiap kepala kita, yang begitu mengakar pada para otoritas pendidikan.

Paradigma lama yang mempersepsikan sesuatu diluar kita sebagai objek harus kita runtuhkan. Banyak pakar yang menyebutkan bahwa paradigma itu benar-benar mengabaikan apa yang sebenarnya kita miliki secara alamiah, yaitu aspek-aspek mental. Dan tak heran bila Deddy Mulyana menuding bahwa negeri ini telah begitu banyak menghasilkan sarjana-sarjana bermental rendah. Menurutnya inilah salah satu alasan mengapa negara kita begitu subur dengan berbagai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang pada gilirannya telah membawa manusia pada krisis moral, politik dan ekonomi yang dahsyat pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Banyak pemimpin kita yang ternyata penggarong harta rakyat, termasuk mereka yang bergelar Profesor dan Doktor.

Dan kini epistemologi itu telah direvolusi oleh epistemologi baru dalam domain Idealisme. Saat ini kita tidak bisa lagi mempersepsikan manusia di luar kita sebagai objek yang bisa diukur, sebagaimana dalam metodologi materialisme-positivisme-mekanistik. Sebab manusia memiliki jiwa dan perasaan. Manusia bukan sekedar mesin-mesin organis. Dengan menempatkan manusia lain sebagai objek, kita tidak akan benar-benar mengetahui apa yang sebetulnya diinginkan olehnya. Sebab respon seseorang atau masyarakat ketika menghadapi suatu situasi tidaklah bersifat mekanis dan tidak ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Individu atau masyarakat memiliki kemampuan untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Setiap individu memiliki potensi yang sama besarnya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Bahkan diakui bahwa kecerdasan itu datang tidak bertahap, melainkan melompat tanpa dapat diperkirakan sebelumnya.

Untuk mengeksplorasi hal tersebut, sebagai bagian dari pengabdian kampus terhadap masyarakat, selayaknya kita menggunakan perspektif subjektif, yaitu suatu proses pengambilan peran. Kita selayaknya ‘mengambil’ secara utuh pola pikir mereka seraya kita terus memberi contoh tentang bagaimana persaingan individu dapat memacu suatu kemajuan sosial. Kita ‘menyatu’ dengan mereka, sebab kita juga adalah masyarakat yang hanya sedang ‘diasingkan’ untuk kemudian dikembalikan lagi ke masyarakat. Ini adalah proyek besar, dan karenanya kita di dalam kampus sendiri yang sudah begitu pengap mesti melakukan suatu penggusuran dalam rangka mengembalikan kedaulatan mahasiswa untuk menganalisis dan berpikir sebebas-bebasnya. Bagi masyarakat, revolusi yang kita lakukan kedalam ini mungkin tidak akan terasa langsung. Tapi kita hanya berusaha untuk melakukan sesuatu yang lebih baik bagi
Indonesia mendatang. Meminjam istilah Taufik Ismail, kita sudah terlalu lama malu jadi orang
Indonesia!

Mungkin banyak yang akan mengatakan bahwa itu terlalu idealis. Padahal dalam gelombang ketiga ini, pertentangan antara idealisme dan pasar (yang tak pernah jelas definisinya) adalah sudah usang! Kita dapat membaca perkembangan bagaimana karya-karya yang ideal justru laku di pasaran. Pertentangan itu hanya terjadi jika menggunakan perspektif materialisme, yaitu kita akan kita menganggap masyarakat itu objek, yang pasif dan bodoh.

Moto kampus sebagai penggerak perubahan dapat kita jadikan semangat yang membara untuk melakukan suatu revolusi pola pikir, revolusi epistemologi, dan pada gilirannya revolusi pendidikan. Menurut Everett Reimer, selama ini sekolah justru memancing perlawanan terhadap pendidikan yang memaksakan pengajaran yang tidak dikehendaki. Untuk itu kita semua membutuhkan suatu konsepsi yang bersifat visioner. Kita membutuhkan kampus yang makhluk-makhluknya terdiri dari jiwa-jiwa yang kreatif, bebas dan futuristik. Sebab, kampus adalah tempat lahirnya ide-ide baru.

Pemisahan Universitas Negeri dan SwastaKepada para mahasiswa swasta. Sadarkah kita bahwa negara telah berbuat sedemikian jahatnya kepada kita? Kami yakin bahwa logika pemisahan ini terkait erat dengan pola pikir materialisme yang telah terbiasa memecah realitas agar dapat mempelajarinya. Mari kita lihat sejenak bagaimana ini bisa terjadi.

Negeri ini sepertinya sangat suka sekali memisah-misahkan rakyatnya berdasarkan aturan main feodalisme. Di kereta api, ada kelas eksekutif, bisnis atau pun ekonomi yang sepertinya hanya pantas untuk ditempati oleh kambing-kambing, dikarenakan tidak manusiawinya kelas ekonomi itu untuk mengangkut manusia. Perbedaan kelas seperti itu dapat kita jumpai juga di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Bukankah suatu keganjilan adanya universitas negeri yang ditopang oleh negara dalam masalah fasilitas dan universitas swasta yang minim fasilitas? Mengapa negara harus memisahkan universitas menjadi dua bagian? Mengapa negara membantu pendanaan universitas tertentu? Mereka anggap apa mahasiswa swasta itu?

Kita sebagai generasi muda, yang dengan berani kita klaim masih berpikiran jernih dan masih berpihak dengan idealisme dalam pengertian umum, harus tergerak melihat fenomena pendidikan di negeri kita yang tercinta ini. Apakah salah kita kalau kita tidak masuk universitas negeri? Mungkin ketika kita tidak lulus UMPTN, kita berpikir kalau kemampuan kita terbatas dibandingkan dengan mereka yang lulus UMPTN. Tetapi jika kita melihatnya secara kritis, bukan sekedar inderawi yang menjadi sahabat materialisme, itu bukanlah sepenuhnya salah kita! Itu dikarenakan bangku perguruan tinggi negeri yang disediakan negara terbatas! Permintaan lebih besar dari kemampuan!

Negara ini begitu jahat karena bagi mereka-mereka yang tidak mendapat jatah pendidikan dari negara malah dicap secara tidak langsung sebagai sebagai warganegara kelas dua dalam pendidikan tanpa merasa perlu memikirkannya lebih lanjut. Akibat lainnya, pertama, sulitnya kita bersaing dalam dunia nyata, karena pasar di luar
sana telah termakan image yang diciptakan penguasa tadi. Kedua, dengan sistem seperti itu, secara tak langsung telah menumbuhkan keminderan dan sifat lembek serta malas belajar dari dalam dirinya sendiri.

Setelah itu kita melihat betapa enaknya universitas negeri, sehingga sangat wajar jika mahasiswa-mahasiswanya pintar-pintar, kritis dan juga arogan. Yang terakhir sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, tetapi itu bukanlah kemauan mereka. Itu ulah penguasa yang – mungkin sudah buntu pikirannya – sengaja menciptakan polarisasi mahasiswa Indonesia supaya dapat selalu dikontrol, supaya mahasiswa
Indonesia sulit bersatu. Rasanya jelas bahwa pemisahan ini hanya bersifat politik administrasi dan bukan atas alasan pengembangan intelektual.

Mahalnya Sekolah serta Buku-BukuPada bagian ini rasanya kita tidak perlu berpanjang-panjang. Mahalnya biaya sekolah dan buku-buku telah kita rasakan betul dalam keseharian kita. Terlihat sudah betapa untuk bisa cerdas membutuhkan biaya yang tidak murah. Lupakah orang-orang tua penguasa itu bahwa sekolah, pemuda dan buku merupakan aset dari kehidupan bernegara yang berkualitas?

Sekolah terlalu mahal untuk menjadi suatu sistem pendidikan yang katanya universal. Mahalnya pendidikan adalah bukti betapa sekolah justru melestarikan ketidakmerataan! Sekolah semestinya terjangkau untuk semua orang. Ini penting supaya kesenjangan antara si pintar dan si bodoh dapat dikurangi. Dan tentu saja ini tidak terlepas dari kesenjangan yang juga terjadi dalam bidang ekonomi, yaitu antara si kaya dan si miskin.Apa-apa yang kita tuntut ini memang menuju suatu kemapanan. Tapi kemapanan yang kita maksudkan berbeda secara definif dengan kemapanan yang terjadi selama ini, yang telah mengandung korban yang siap merongrong didalam dirinya sendiri. Kemapanan yang kita inginkan adalah kebebasan yang dinamis dan produktif. Kemapanan yang selalu terbuka terhadap seluruh pertanyaan dan mampu berubah cepat. Kita tidak menginginkan kapitalisme purba dan sosialisme ilmiah. Tapi kita menginginkan jiwa kapitalisme dan sosialisme sebagaimana adanya. Kita tidak ingin dicekoki banyak pelajaran-pelajaran yang tidak kita kehendaki. Kita hanya menginginkan pelajaran yang memang ingin kita pelajari sebagai bekal kita hidup kelak.

Kita sudah besar. Idiom ‘bapak lebih tahu’ sudah runtuh di gelombang ketiga ini. Kita tahu bagaimana semestinya memperlakukan teman main. Kita tahu bagaimana semestinya berpakaian. Kita tahu bahwa kita punya otak dan hati nurani. Dan kita juga tahu bahwa kesadaran yang kita miliki bersifat ilahiah.Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak benar-benar apa yang dikatakan seorang filosof besar yang bernama Aristoteles: barang siapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia, pasti yakin bahwa nasib sesuatu imperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya!


3 Comments:
  • At September 29, 2010, Blogger Tahif Mustabiq Sufi said…

    REVOLUSI PENDIDIKAN
    Rahasia pendidikan mulai terungkap
    Bagaimana cara menciptakan SDM yang berkualitas, yang bisa membuat pabrik, robot, tank, pesawat jet dan tekhnologi canggih lainnya.

    http://asma0081.blogspot.com/

     
  • At September 29, 2010, Blogger Tahif Mustabiq Sufi said…

    E-BOOKS REVOLUSI PENDIDIKAN


    Rahasia pendidikan mulai terungkap
    Bagaimana cara menciptakan SDM yang berkualitas, yang bisa membuat pabrik, robot, tank, pesawat jet dan tekhnologi canggih lainnya.

    BEST SELLER HASIL UJI RISET
    Karya : Tahif Mustabiq Sufi dan Drs. H Amdjad Alhafidz. Bsc. Mpd
    Hak Cipta di lindungi Undang - undang


    Apa yang akan kamu dapatkan didalam E-book ini :
    1. Teknik mengajar sistem cepat (sistem level) yang sudah diuji coba di lapangan
    2. Penggabungan sistem kedisiplinan buku "The Power of reward and punishment" dengan sistem revolusi pendidikan (sistem level)
    3. Cara pencarian bakat yang efektif dan efisien, yang insya Allah tidak mungkin meleset, bahkan dari SD sudah mengarah ke bakat.
    4. Simulasi membuat sekolahan sistem "REVOLUSI PENDIDIKAN" atau sistem level
    5. Berai memberi garansi "LULUS dijamin langsung bisa ngajar dan kerja.
    6. Simulasi hasil - hasil nyata yang akan didapatkan dengan menggunakan teknik revolusi pendidikan dan siap mengatasi pengangguran, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan lain sebagainya.
    7. Dasar - dasar di dalam hadist dan Al Qur'an
    8. Sistem pendidikan di negara maju
    9. Ujian nasional di negara maju

     
  • At September 29, 2010, Blogger Tahif Mustabiq Sufi said…

    http://asma0081.blogspot.com/

     
Post a Comment
 
PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Lodzi Hady's Facebook profile

Previous Posts
BUMI GONJANG-GANJING, ZODIAC PUN BERUBAH | JAWA TERBELAH-MADURA TENGGELAM | in memoriam: MAX ARIFIN | GONG XI FAT CAI, SAUDARA! | DUA MASTERPIECE PENYAIR RONGGOWARSITO | NOSTRADAMUS for SRI PAUS | HAK CIPTA "HATI" | ALKISAH, "CINTA" | SEPATU CYNDERELLA | Who's MUHAMMAD (saw) |