Photobucket
Sunday, December 31
2007: TAHUN BABI PANGGANG
Ada beberapa hal yang menarik di artikel "Pertaruhan Besar di Tahun Babi" di tabloid Kontan minggu ini di kolom Investasi. Apa yang dimaksudkan tahun babi disini adalah simbol tahun dari sistem kalender Cina kuno yang sebenarnya sudah berumur ribuan tahun sebelum dikenal kalender Masehi yang biasa kita gunakan sehari-hari. Perbedaan utama dengan sistem kalender Masehi dan Hijriah adalah sistem kalender Cina ini menggunakan kombinasi metodologi perhitungan solar (peredaran bumi mengelilingi matahari) maupun lunar (peredaran bulan mengelilingi bumi). Pergantian kalender Cina di tahun 2007 jatuh pada Minggu Legi (yeach.. gak libur panjang nih) 18 Pebruari yang merupakan tahun baru Imlek 2558. Tahun imlek sering dihubungkan dengan ramalan-ramalan Cina, khususnya ramalan akan usaha-usaha bisnis yang berhubungan dengan mencari atau menambah rezeki, pendapatan atau keuntungan finansial.

Secara umum ramalan Cina tidak bersifat dogmatis, ghaib atau pun proprietary keturunan peramal semata, melainkan sering berdasar campuran antara logika dan pemahaman peramal terhadap gambaran-gambaran atau simbolisasi. Oleh karena itu masih sering terdengar ramalannya begini-begitu dengan dasar alasan ini-itu. Pendek kata, setiap orang bisa jadi peramal untuk dirinya sendiri ataupun orang lain sesuai pemahamannya yang mungkin saja berbeda-beda dengan peramal lain. Menjelang tahun baru Imlek seperti ini orang sudah mulai meramalkan kondisi ekonomi tahun depan dan membuat perencanaan apa yang sebaiknya dilaksanakan atau dihindari pada tahun depan. Selain perencanaan, tak dipungkiri dalam mencari atau menambah rezeki ada faktor-faktor nasib yang berbeda masing-masing orang. Yang kemudian menjadi tanda tanya: siapakah yang bakal bernasib paling mujur di tahun depan?

Ramalan berdasarkan shio binatang ini memang biasanya untuk meramal nasib dalam mencari atau menambah rejeki atau hal-hal lain yang umumnya berkaitan dengan ekonomi atau keuangan. Misalnya, agar dalam mencari rejeki selalu aman tanpa hambatan maka orang kelahiran shio Babi disarankan bekerjasama dengan shio kambing karena digambarkan babi dan kambing tak saling menghambat dalam mencari makan dan bisa hidup berdampingan. Ada juga ramalan yang menyatakan shio Babi cocok dengan shio Naga, bisa jadi karena Babi merupakan santapan yang lezat bagi Naga maka shio Babi siap selalu berkorban demi menambah semangat sang Naga dalam mencari rejeki. Suatu gambaran yang sah-sah saja, terutama bila yang dijadikan sebagai gambaran adalah babi hidup.

Selain gambaran tahun berulang setiap 12 tahun yang dilambangkan dengan banyaknya Shio binatang, kepercayaan Tiongkok kuno juga mempercayai setiap 5 tahun memiliki kategori kecenderungan yang sama yang digambarkan dengan 5 unsur alam yaitu kayu, api, tanah, besi dan air . Tahun depan merupakan tahun unsur api. Jadi tahun 2007 atau 2558 Imlek merupakan tahun babi dan api. Ada ahli nujum yang menafsirkan tahun babi dan api sebagai tahun babi bakar atau babi panggang.

Artinya babi yang digambarkan tahun depan sebenarnya adalah babi mati tergeletak tak berdaya karena kobaran api. Berarti kambing tak punya teman dalam mencari makan. Harimau pun demikian, karena biasa mengincar buruan yang bergerak maka babi mati tidak lagi menarik perhatiannya. Binatang-binatang lain kuda, kerbau, kelinci, ayam jelas tak akan makan daging babi. Kera pun tak doyan daging babi. Sedangkan Naga yang digambarkan memiliki badan paling raksasa serta biasa melihat tinggi, luas dan jauh kedepan maka kemungkinan besar tidak akan melihat babi yang mati tergeletak ditanah itu. Bisa jadi para tikus yang akan mengenyam rejeki nomplok babi panggang atau bakar ini. Namun tikus adalah mangsa ular dan akan lari tunggang-langgang jika mengetahui ada ular yang mengincarnya. Dengan demikian babi panggang atau bakar ini merupakan santapan lezat bagi ular, bahkan ada kemungkinan dapat bonus yang tak kalah sedapnya yaitu para tikus yang tidak sempat melarikan diri.

Masalahnya banyak jenis ular di dunia ini, seperti anaconda yang konon habitatnya di hutan belantara, cobra yang menurut penelitian ternyata hanya tertarik bentuk suling daripada irama dan nadanya, ular laut yang bisanya jauh lebih ganas dari cobra, ular terbang (chrysopelea paradisi) yang bisa berubah arah sewaktu-waktu saat melayang, ular sawah yang hobinya makan kodok dan tikus atau ular-ular jenis lain. Dalam peramalan shio pun sifat ular dibedakan menjadi 5 unsur alam utama. Dengan gambaran babi panggang atau babi bakar tadi, agar nyaman dimakan orang pun akan menggambarkan sebagai sate yang membutuhkan tusuk kayu yang tidak mengalirkan panas. Dengan demikian shio Ular yang paling mujur di tahun babi api diramalkan sebagai orang dengan shio ular kayu. Ada banyak tahun yang merupakan representatip ular kayu ini. Tahun-tahun Ular Kayu mana saja yang paling menggambarkan kemujuran di tahun babi panggang ini?

Artikel investasi di Kontan tersebut berdasarkan fakta pada 5 hari lalu yaitu Selasa Legi (neptu=8) 5 Desember lalu. Menurut sejarah hari tersebut adalah hari kematian Johannes Chrysostomus Wolfgangus Theophilus Mozart a.k.a Wolfgang Amadeus Mozart 215 tahun lampau dalam usianya 35 tahun atau lahir 250 tahun yang lalu. Mozart dilahirkan sebagai 'raksasa' dalam dunia seni musik yang tak diragukan lagi kebesaran karya-karyanya. Hari kematiannya melambangkan tidurnya sang raksaya yang dalam shio digambarkan sebagai Naga. Ular-ular pun mulai mepersiapkan diri untuk mencari makan setelah tidur didalam liangnya selama ini. Jika dicermati banyaknya angka 5 dan kelipatannya, maka orang yang diramalkan paling mujur dan nyaman tahun depan adalah shio ular dengan unsur kayu yang tahun dan bulan kelahirannya berakhiran dengan angka 5 atau kelipatannya. Sukur-sukur tanggal kelahirannya 18 sesuai jatuhnya tanggal imlek.

Fakta valas (valuta asing) menunjukkan bahwa pada tanggal tersebut nilai mata uang dolar negara raksasa USA melemah drastis terhadap banyak mata uang lainnya seperti Yen, Won, Thai Bath dan dolar Singapore. Nilai rupiah pun yang selama ini melemah, pada tanggal tersebut tiba-tiba mulai menggeliat dan meliuk-liuk naik sampai hari ini. Bisa jadi perkembangan nilai rupiah yang mencengangkan ini diluar prediksi atau forecast (istilah profesional untuk ramalan) para pakar dan analis ekonomi, terutama ekonom yang selama ini hanya mengandalkan dasar statistik tapi belum begitu memperhitungkan fenomena-fenomena alam.

Tidak hanya di dunia valas, di dunia saham pun pada hari kematian Mozart itu tiba-tiba IHSG mencapai rekor tertinggi mendekati angka 1800 poin. Suatu kenaikan yang dahsyat. Ini menunjukkan harapan sekaligus keyakinan bahwa ekonomi di tahun babi mendatang bakalan gilang-gemilang. Saking cepatnya tumbuhnya optimisme dan ekspektasi itu membuat sebagian pakar malah menjadi khawatir jika ramalan para investor meleset maka bursa saham bisa karam. Barangkali kekhawaitiran ini beralasan, siapa tahu sang Naga belum benar-benar tertidur dan tiba-tiba terbangun, bisa-bisa malah marah dan memakan ular-ular kecil. Keyakinan sang Naga sudah tertidur lelap tidak hanya terjadi di JSX di Jakarta saja. Sehari setelah itu di Moscow, MICEX, bursa terbesar untuk kawasan Rusia, CIS dan Eropa Timur pertama kalinya dalam sejarah menembus angka diatas 1600 poin.

Gambaran-gambaran untuk menyambut pergantian tahun tidak hanya berlaku bagi tradisi Cina saja. Orang jawa juga memiliki tradisi menyambut pergantian tahunnya yang pada tahun 2007 nanti jatuh pada Sabtu Pahing (top! neptu=18) 20 Januari, yang bertepatan dengan tanggal 1 Suro 1940 Ehe yang merupakan tahun di windu Kunthara. Gambaran-gambaran akan harapan di tahun tersebut direpresentasikan melalui pagelaran wayang kulit di malam 1 Suro di berbagai tempat baik di kota-kota maupun pedesaan.

Saturday, December 9
PUSIIING eeuyyy
Suntuk! beberapa waktu terakhir yang benar benar membuat kepala pening. bagaimana tidak. kondisi organisasi kalang kabut ga karuan. aku ga habis pikir, bagaimana orang bisa ga peduli. mustinya kedatangan mahasiswa baru cepet cepet direspon buat recruitmen anggota. kemana neh anak anak laen. aku bisa saja gila dengan nerobos blusukan ksana ksini buat nyari maba, tapi kan jelas itu ga produktif.
aku cukup di belakang dan membuat beberapa hal yang lebih berguna buat itu juga.

aku pikir itu dah cukup. bukannya ikutan biayakan kesana kemari. bukan nggak mau. tapi ya itu tadi masalahnya bisa bisa tambah runyam. aduh, mbohlah. sulek aku..arek2 iki...

tapi ya salahku juga seh mungkin...setelah putus ma pacar, dia jadi ogah maen ke camp. lha otomatis ganknya juga ikut2an...trus dari angkatan yang lebih tua, ada yang dulu naksir abis dia dan ga tau kalo dia dah jalan ma aku. trus waktu akhirnya rahasia kebuka, patahlah dia dan......bummm....ngefek wis ke organisasi.

sekarang aku rasa aq sedang menebusnya...ffhhuhh. cuk!!

Tuesday, December 5
RAKYAT INDONESIA, SEJARAH PANJANG PLURALISME
Dengan mengetahui sejarah, maka sebuah bangsa dapat mengetahui keberadaannya dan mengetahui arah perjuangannya”.

Perbedaan membuat sebuah bangsa lebih kaya akan kemungkinan-kemungkinan dimasa depan.”

a. Prasejarah
Sebuah kurun waktu perkembangan peradaban manusia di bumi yang merentang amat panjang hingga ditemukannya pengetahuan tentang tulisan. Maka dalam merangkai jaman yang gelap ini kajian sejarah masa ini menggunakan tulang belulang manusia maupun binatang; artefak-artefak, alat-alat berburu dan lain-lain yang ditemukan dan perkembangan teknologi karbon dalam menghitung usia sebuah benda organik diinterpetasikan menjadi sebuah alur sejarah yang logis.

Setelah menyebar dari benua Afrika, ras-ras berkembang setidaknya menjadi tiga ras utama, yaitu ras Negroid, ras Kaukasus dan ras Mongoloid selain ras Khoisan dan ras Austroloid selama Jutaan tahun evolusi manusia berjalan tanpa catatan-catatan sejarah exsplisit di wilayah kepulauan nusantara.

Paleolitikum
Masa paling awal dari peradaban manusia ini ditandainya dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba yang dalam perhitungan ilmiah berusia sekitar 1 juta tahun yang lalu seperti Phitecantropus Erectus, dari bentuk ukuran tulang pahanya (femur) dapat dikategorikan sebagai homo erectus atau manusia yang berjalan tegak. Dan alat berburunya seperti kapak genggam, menunjukkan corak produksi manusia masa itu masih dalam masa perburuan. Dalam masa ini manusia masih berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lainnya dalam usahanya mendapatkan binatang buruan.

Mesolitikum
Masa sekitar melelehnya zaman es (100.000-15.000 tahun yang lalu). Masa ini dapat disebut sebagai ‘masa pengumpulan makanan tingkat lanjut’. Hal ini dapat dilihat dari temuan-temuan diperkapungan purba dan goa-goa purba di pesisir Malaka dan Sumatera dimana mulai ditemukannya sisa-sisa sampah dapur. Hal ini berarti juga manusia mulai menetap disebuah tempat untuk waktu yang relatif lama. Mereka sudah mulai berkelompok dan menetap serta menggunakan api untuk memasak, sebuah kemajuan besar saat itu.

Neolitikum
Masa batu muda ini juga disebut sebagai masa bercocok tanam awal berkisar pada 1500 tahun yang lalu di Indonesia. Sebagian besar manusia pada jaman itu beras Paleo-Mongoloid. Mereka mulai menetap dan membangun pertanian untuk hidup dengan menggunakan peralatan-peralatan sederhana seperti beliung yang ditemukan tersebar di kepulauan Nusantara bagian barat. Alat ini juga ditemukan di Yunan, Cina Selatan, Laos ini menunjukkan migrasi manusia dari utara melalui sungai Mekong. Di kepulauan Nusantara bagian timur ditemukan banyak kapak lonjong yang juga ditemukan di Jepang, Taiwan Filipina, Sulawesi Utara, Maluku, papua dan kepulauan Melanesia lainnya. Studi biologi tingkat lanjut menunjukkan bahwa kemiripan struktur DNA dalam darah manusia-manusia di wilayah ini mermiliki kemiripan, hal ini menunjukkan nenek moyang bangsa Indonesia sebagian berasal dari daratan Asia dan sebagian lagi merupakan percampuran dari Mongoloid dan Negroid dan Negroid terutama yang berada di kepulauan bagian timur. Dalam waktu senggang menunggu panen, mereka mulai memiliki waktu luang untuk memahami alam raya dan kekuatan-kekuatan yang Maha Besar agar mempermudah hidup mereka. Maka mereka mulai membangun tempat-tempat pemujaan berupa batu-batu besar seperti menhir, bangunan batu berundak, dolmen dan patung-patung nenek moyang mereka, maka akhir zaman ini juga disebut sebagai masa megalitikum.

Jaman logam Muda
Jaman ini jaman pertukangan karena semakin canggihnya manusia menciptakan alat-alat dari peleburan logam seperti alat bercocok tanam, genderang perang dari perunggu, alat-alat berburu hingga simbol-simbol atau jimat bagi pemujaan terhadap Tuhannya. Kemungkinan gelombang eksodus terjadi dari Dongson, Vietnam membawa kebudayaan cor logam. Zaman ini dapat disebut sebagai era revolusi pertanian awal.

b. Sejarah
Kemampuan manusia kemudian berkembang setelah ditemukannya budaya tulis-baca. Hal ini mempermudah untuk merangkai perkiraan seperti apa bentuk kebudayaan yang ada di wilayah kepulauan Nusantara yang kaya akan hasil buminya baik yang dapat diperbarui seperti hasil pertanian padi, perkebunan rempah-rempah dan jenis tanaman-tanaman hutan seperti kayu cendana, kayu putih dan yang tidak dapat diperbarui seperti logam mulia, perak hingga uranium. Hal ini terwaris berupa nama-nama pulau yang ada seperti pulau sumaera dari nama Swarna (emas) dwipa (pulau), Pulau jawa dari kata Jawa Dwipa (Jawa=jawawud= beras, Dwipa=pulau) dll.

Zaman Revolusi Pertanian

Zaman Pra-Kolonial

Perkembangan Hindu-Budha
Agama Hindu atau sering disebut sebagai Sanātana Dharma ("Kebenaran Abadi") dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") yang merupakan kelanjutan dari Weda (Brahmanisme), merupakan agama pendatang paling awal di kepulauan Nusantara. Kebudayaan tulis-baca yang dapat dikatakan sebagai temuan prasati tertua ditemukan di Kutai, Kalimantan timur, diduga prasati tersebut dibuat pada abad ke-IV masehi, menyebutkan Kutai merupakan sebuah kerajaan Hindu yang didirikan oleh Kudungga yang belum memeluk agama Hindu. Di Jawa barat juga ditemukan sebuah prasati sansekerta pada sebuah batu kali yang menyebutkan bahwa telah berdiri sebuah kerajaan Hindu Tarumanegara, juga di Jawa Tengah telah berdiri Kerajaan Kalingga.. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh kebudayaan lembah Hindustan telah merebak di kepulauan nusantara dikarenakan hubungan barter hasil bumi sejak awal tahun masehi. Pada abad ke-IIV Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah pusat Agama Budha terbesar diluar India. Dan silih berganti kerajaan-kerajaan Hindu Budha berkembang dan berbiak sejalan dengan perkembangnya perdagangan yang membawa nilai-nilai luar di seluruh kepulauan Nusantara sejalan dengan surutnya agama dan kepercayaan lokal. Agama-agama hindu-Budha pernah mencapai masa keemasannya hingga abad ke-IIIX ditandai dengan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar, Kekaisaran Mojopahit dan masuknya agama Islam disusul agama Kristiani melalui kerajaan-kerajaan pesisir. Kebudayaan Hindustan telah banyak menyumbangkan pengetahuan maupun nilai-nilai dalam berbangsa. Sastra dan budaya baca tulis sansekerta, musik, kuliner, seni arsitektur dan seni patung, seni pertunjukan hingga sistem pemerintahan hingga nilai-nilai berketuhanan.

Zaman Kolonial
Milenium kedua masehi ditandai dengan pesatnya perdagangan yang melalui laut melewati selat malaka untuk menggantikan “Jalan Sutera” sebuah jalur tradisional bagi mengalirnya produk-produk dari kerajaan-kerajaan di Timur jauh Asia menuju Timur tengah hingga akhirnya mencapai Eropa melaui dataran Asia. Untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya para pedagang berusaha menguasai kerajaan-kerajaan besar maupun kecil sebagai koloni yang mendukung usaha dagangnya.

Penyebaran Islam
Pada awalnya, perdagangan melalui lautan ini dikuasai oleh para pedagang dari gujarat yang mayoritas memeluk agama Islam. Meskipun agama islam telah tersebar di negeri-negeri asia tenggara sejak kekhalifahan Ustman (644-56). Bahkan pada abad ke IX, telah ribuan pedagang Kanton memeluk agama Islam dan mengadakan kontak perdagangan dengan kerajaan-kerajaan pesisir. Banyak dari mereka melakukan pernikahan dengan penduduk lokal. Maka tak mengherankan bahwa banyak pedagang muslim berperan pada perdagangan dengan kerajaan Budha Sriwijaya sejak abad ke IIIV. Aliran di dalam Islam seperti Maliki, walmiki, Hanafi, Wahabi berkembang biak dengan subur. Dengan adanya ancaman pesaing dagang dari Eropa, pada waktu itu Portugis, maka penyebaran agama islam sebagai usaha untuk membentengi bandar-bandar dari dominasi eropa dilakukan dengan lebih sistematis. Dipesisir utara Jawa penyebaran dilakukan oleh Wali songo dan melemahnya kekuasan kerajaan Hindu Mojopahit. Para wali tersebut tidak hidup pada masa yang bersamaan. Namun para tokoh yang hidup pada abad keIVX-VX dianggap sebagai pelopor gerakan islamisasi di tanah Jawa.

Kedatangan Kristiani
Pada abad ke IVX Eropa bukanlah sebuah benua yang maju, bahkan kekuatan besar muslim Turki Otoman menguasai Konstantinopel untuk syiar hingga kepulauan Nusantara dan Filipina. Namun penemuan-penemuan teknologi bangsa Portugis membuat mereka memiliki kapal-kapal yang relatif canggih untuk mencapai kepulauan Hindia demi mendapatkan rempah-rempah bagi pengawet dan penyedap daging makanan mereka di musim dingin, yang sementara waktu jalur perdagangan dikuasai kaum muslim. Maka mulailah mereka berlayar menuju kepulauan Nusantara mengitari Tanjung Harapan, Afrika selatan demi membangun monopoli perdagangan rempah-rempah. Pada bulan April 1511 Portugis dengan mualim Albuquerque bersama sekitar 1200 pasukan diatas 18 kapal perang telah mencapai Malaka. Beberapa dari mereka, Franciscus Xaverius dan Santo Loyola kemudian mendirikan Ordo Jesuit pada tahun 1546-47 di wilayah Ambon, ternate dan Morotai (Moro). Orang-orang Dominik juga berhasil mengKristenkan Solor. Diwilayah itu mereka juga meninggalkan kesenian musik Keroncong dan bahasa-bahasa portugis yang kemudian menjadi bahasa Melayu sebagai Lingua Franca sebelum terbentuknya bahasa Indonesia. Perang kemerdekaan belanda atas Spanyol mendorong mereka untuk juga mengadakan perdagangan langsung. Selain berdagang mereka juga mengabarkan tentang agama protestan. Dan ketika monopoli rempah-tempah dikuasai oleh kerajaan Katolik Portugis, maka hal inmi memicu Belanda yang beragama protestan Calvinis untuk turut berangkat mencari rempah di ujung dunia. Maka menyebarlah agama protestan di Indonesia sejalan dengan melemahnya penjajahan Portugis. Setelah menguasai kepulauan maluku, kristenisasi meluas diwilayah itu dan Katolik bertahan di selatan seperti Solor dan Timor dan utara hingga di wilayah kepulauan Filipina

Zaman Revolusi Industri
Penemuan mesin uap dan listrik telah merubah wajah dunia secara mendasar dan cepat. Produksi masal segala kebutuhan hidup hingga penemuan alat-alat produksi diciptakan secara massal. Hal ini memicu corak produksi bertumpukan pada industrialisasi disegala bidang. Pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan hidup menjamur dimana-mana, dan para bangsawan digantikan para pemodal dalam berkuasa. Penindasan bergesar dari para penguasa tanah terhadap petani menjadi penindasan para pemodal terhadap buruh-buruh pabrik demi mengeruk keuntungan lebih banyak. Di Indonesia rakyat ditindas oleh kedua sistem penghisapan itu. Produksi gula dan karet di Sumatera, jawa dan Kalimantan menyebabkan perbudakan di perkebunan tebu, karet, dan produksi pala di kepulauan Maluku, dll sejak dua abad yang lalu.

Zaman Pergerakan
Gerakan politik etis berkembang di Eropa pada paroh akhir abad ke-19. Beberapa bangsawan mendapat pendidikan di Belanda dan berkenalan dengan gerakan pembebasan yang sedang marak di Eropa. Indische Party tiba-tiba menjadi perintis bagi pergerakan di Indonesia. Gerakan pembebasan ini kemudian dibawa ke Nusantara dan terbentuklah seperti Budi Utomo. Kesadaran akan kebangsaan ini kemudian berkembang meluas dan terbentuklag gerakan gerakan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, jong Batak dll. Dan akhirnya pada tahun 1928 difasilitasi oleh PPPi )Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia diselanggarakanlah Sumpah Pemuda yang mengikrarkan rumusan otentik:

* PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah
Indonesia.
* KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
* KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia

Zaman Kemerdekaan
Perang kemerdekaan menuju akhir babak, ketika para pemimpin bangsa bertemu dan mempersiapkan kemerdekaannya. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, kemerdekaan belum juga berada ditangan bangsa Indonesia dengan adanya dua agresi Belanda yang menelan lebih dari dua juta jiwa. Setelah itu pertikaian saudara merebak dimana-mana. Pertikaian antara Ex KNIL dan ex PETA, keinginan merdeka beberapa bangsa di Indonesia terjadi. Soekarno sebagai tokoh penengah dan pendidik bangsa lebih memimpin negara yang masih muda…

Zaman Orde Baru
Perang dingin antara blok Timur dan Blok Barat menempatkan Indonesia sebagai posisi strategis dalam melajunya efek domino baik pengaruh kapitalisme dunia maupun sosialisme dunia. Soekarno dalam keseimbangannya lebih memilih berdekatan dengan kekuatan kiri dunia merupakan ancaman bagi sekutu barat. Maka cepat atau lambat harus digulingkan dengan Suharto sebagai eksekutornya dbantu oleh gerakan mahasiswa eksponen 66 yang mempreteli kekuatan politik yang menopangnya, dalam hal ini PKI. Maka terjadilah pembantaian jutaan massa pada tahun 1965 dan tahun selanjutnya. Suharto kemudian mencanangkan Orde Baru sebagai kekuatan politik dengan program pembangunannya yang tak lebih dari pencakokan kapitalisme partisipatoris di Indonesia. Berduyun-duyun perusahaan-perusahaan multinasional beroperasi dalam mengeruk kekayaan alam dari negara nomor lima terkaya di dunia dalam hal hasil alam dan nomor empat terbesar armada tenaga kerjanya di dunia. Hutang luar negeri menumpuk korupsi meraja lela. Dengan tangan besi ia memerintah Indonesia dengan membentuk partai Golkar di tengan antara kekuatan agama di kanan dan kaum demokrasi di kiri. Penyeragaman dan feodalisme jawa diterapkan menurut petunjuk bapak presiden. Hutang semakin menumpuk dan jatuh tempo di paruh kedus tahun 1990an. Maka ia ‘lengser keprabon’ dengan mengobarkan strategi budaya “tiji tibeh”, mati siji mati Kabeh! (Mati satu, mati semua). Kerusuhan rasial antar suku, antar agama dan antar kelas ekonomi dikobarkan dari aceh, Sampit, maluku, Jakarta. Tiba-tiba slogan bangsa Indonesia adalah bangsa yang murah senyum digantikan dengan api darah dan air mata bersimbah dimana-mana.

SITUASI NASIONAL
Situasi nasional saat ini berwajahkan kemuraman dan kebingungan yang membentuk karakter bangsa. Kehancuran basik struktur ekonomi di tambah kebimbangan wajah budaya sengaja diciptakan oleh penguasa ekonomi dunia baik perusahaan multinasional maupun negara-negara ekonomi maju dunia ini diamini tanpa daya oleh para penguasa lokal silih berganti semenjak kejatuhan Soekarno.

Reformasi Setengah Hati
Gerakan mahasuiswa, buruh, tani dan kaum miskin kota seperti FKSMJ, FORKAT, KOMRAT JARKOT yang bergerilya dengan kerinduan suci akan pembebasan ekonomi telah dibelokkan oleh aktor aktor kunci politik di negeri ini. Ketika kemenangan akan diraih, kemudian muncul tokoh-tokoh yang kemarin sore ada dalam naungan Orde Baru seolah menjadi pahlawan kesiangan. Tuntutan-tuntutan reformasi dikaburkan. Reformasi menciptakan disintegrasi bangsa, ketika reformasi seolah menempatkan otonomi daerah adalah solusi badi pemerataan kue kemakmuran bagi rakyat. Otonomi daerah hingga tingkat dua menciptakan raja-raja kecil. Kedua otonomi yang kebablasan ini menciptakan sektarian anytar suku dan bangsa yang mudah diadu domba. Ketiga otonomi daerah seperti ini mempoermudah penjajahan modal asing masuk lebih leluasa.

Meningkatnya Fundamentalisme Islam
Hal ini merupakan reaksi dari dominasi dan kerakusan negara maju terutama Amerika serikat akan kekayaan alam terutama minyak dan gas Bumi. Semula Amerika Serikat mendidik dan membiayai perang Islam melawan dominasi Uni Soviet di Afganistan. Maka tak heran apabila pangkalan militer amerika Serikat di Saudi Arabia bernama Osamah Bin Ladin. Ketika Uni Soviet runtuh maka Negara barat yang beralaskan kapitalisme berusaha merebut kekayaan minyak bumi di negeri-negeri islam eks Soviet. Kaki kaki islam yang ada harus segera dimusnahkan sebelum mereka alkan menjadi kerikil dalam sepatu lars mereka. Hal ini kemudian menyulut ketegangan dan peperangan antara Islam dan kapitalisme dunia yang sebenarnya hal yang memang dikehendaki oleh negara maju agar tidak semua bangsa miskin didunia bersdama-sama memerangi sistem kapitalisme dunia yang menyengsarakan enam milyard minus delapan ratus juta jiwa mereka yang hidup dari kapitalisme. Hal ini dengan serta merta memicu solidaritas kaum muslim yang ada di wilayah Indonesia yang menjadi negara muslim terbesar didunia. Solidaritas ini memicu perlawanan yang militan dan berdarah. Hal ini menguntungkan negara maju dengan isu-isu terorisme dapat mempengaruhi tekanan ekonomi politik bagi Indonesia.

Globalisasi Penjajahan Modal
Dalam situasi carut marut Indonesia dengan mudah jatuh kedalam penjajahan bentuk baru, yaitu penjajahan atas modal yang telah dipersiapkan oleh negara-negara maju setelah perang Dunia Ke II. Mereka membentuk GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), IMF (International Monetary Fund) dan World Bank untuk mengamankan ekonomi mereka dari malaise (Kebangkrutan luar biasa paska PD II). Dikemudian hari GATT setelah melalui berbagai putaran membentuk diri menjadi sebuah organisasi yang solid dan mendunia yang lebih besar dari PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yaitu WTO (World Trade Organisation). WTO memaksa negara seluruh dunia masuk kedalamnya sebagai anggota dan memiliki sifat mengikat (Legally Binding) WTO mengatur segala hal dalam peri kehidupan. Segala sesuatu diusahakan untuk dijual. Dalam sektor pertanian semua negara dipaksa untuk menyetujui AoA (Agreement on Agriculture), Di sektor Jasa GATS (General Agreement in Trade Services) mengatur segala sesuatu termasuk pendidikan dan kesehatan. Hak cipta diatur di TRIPs. (Trade Related Intelectual Properti Rights) Perdagangan barang diatur di NAMA (Non Agriculture Market Acces), dsb. Hal ini merupakan bentuk puncak dari kapitalisme dimana batas-batas negara dinafikkan demi kepentingan modal MNC (Multi National Corporation) melalui kekuasaan negara ekonomi maju dalam mengeruk keuntungan dari hasil bumi dan pasar negara miskin dan berkembang. Kapitalisme ala John Maynard Keynesian yang percaya peran pemerintah harus ditegakkan digantikan dengan Turbo Kapitalisme sebagai implementasi dari paham neoliberalisme yang dipromosikan oleh Frederick von Hayek dan Milton Friedman dan diterapkan oleh Margareth Thatcher dan Ronald Reagan dimana untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya maka kapitalisme harus diterapkan sebabas-bebasnya. Di negara berkembang seperti Indonesia, hal ini mempengaruhi kebijakan dalam perburuhan dengan alasan efisiensi biaya produksi, mematok standar Upah minimun di bawah garis perikemanusiaan dengan alasan membentuk iklim investasi asing yang kondusif. Lingkungan hidup rusak demi mengejar produksi.

PERJUANGAN SOSIAL POLITIK
“Tuhan Tidak akan merubah nasib suatu bangsa
Apabila bangsa itu tidak merubah nasibnya sendiri!”

Memberi pendidikan politik rakyat
Mengorganisir basis masa multi sektoral
Mengambil alih kekuasaan / transisi Demokratik
Mengembalikan kekuasaan ketangan Rakyat.

MENGGLOBALKAN PEMBEBASAN 'ALA AUGUSTO BOAL
Teater ternyata menjadi momok menakutkan bagi para jenderal di Brasil. Adalah seorang Augusto Boal dengan teater Arenanya, di Sao Paulo pada dekade ‘60an dengan semangat pembebasan memfungsikan teater sebagai alat pengorganisiran, mobilisasi hingga media pencerahan bagi berjuta kaum miskin dari satu perkampungan ke perkampungan lainnya. Menurut perhitungan junta pada saat itu, massa rakyat yang tercerahkan akan menjadi kekuatan maha dahsyat yang dapat mengancam kerakusan mereka, sehingga mengharuskan mereka untuk menghentikan “Gerakan kultural untuk pembebasan kaum tertindas” Boal Cs. Mereka kemudian membunuh dua anggota teater serta tiga bulan penyekapan sarat siksaan.

Pada Awalnya; spect-actor (bukan spektator)
Dengan menggelorakan sebuah konsep spect-actor (sedikit pelakon), bukan spektator (penonton) yang setelah dikembangkan, nantinya lebih dikenal sebagai teater kaum tertindas (Theater of the Oppressed). Di sini ia mulai mengundang penonton untuk mengekspresikan pemikirannya di atas panggung. Ia menemukan bahwa dengan partisipasi penonton menjadi aktor sekaligus sutradara, teater tidak lagi sekedar menjadi sebuah tontonan, namun menjadi media pembebasan yang ampuh. Aristoteles menawarkan gagasan estetis dengan konsep penonton mendelegasikan kekuasaan pada pelakon (aktor) untuk membimbing mereka kepada ekstase (kenikmatan) belaka, yang kemudian menjadi acuan teater gaya Stanislavskian.

Sebaliknya, Boal mengembangkan konsep Bertold Brecht yang menolak kreativitas yang hanya mengejar empati dari penonton melalui penyerahan naskah, dialog, peran dari seorang aktor yang berdedikasi. Boal menggembangkan bentuk teater politis effektif yang lebih menekankan operasi dalam benak penonton. Ia menginginkan penonton sendiri yang melakonkan pemeran utamanya (protagonis), mengubah lakon dramatis, menguji coba lakon itu dan mendiskusikan rencana perubahan lakon yang sedang berlangsung. Penonton tidak hanya menghayati cerita yang disampaikan, namun panggung langsung memberi ruang bagi pemikiran bersama (kolektif) untuk pemecahan suatu masalah yang dapat mengarah kepada aksi konkret bagi sebuah perubahan ditingkatan akar rumput.

Globalisasi Boal:
“meluas” dahulu ”meninggi” estetik

Masa pembuangan bagi Boal adalah perjalanan panjang menyusuri medan tertindas di berbagai sudut bumi. Mulai dari Rio dan sekitar Amerika Latin, Eropa, Afrika, Asia, Australia dan belakangan di negara pusat sang tiran sendiri, Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada). Adalah sebuah kerja tanpa lelah untuk menguji –coba dan membangun konsep teaternya. Lalu ia memperkenalkan konsep-konsep teater yang telah menjadi inspirasi bagi bukunya yang sangat berpengaruh bagi perkembangan teater pembebasan dunia: Theatre of the Oppressed.

Menurut Boal ada dua macam teater kaum tertindas, yaitu pertama, teater yang dilakukan oleh para aktor profesional dan teater yang dipraktekan oleh mereka yang tertindas di tingkatan akar rumput. Untuk yang kedua, ia menggunakan proses pematangan melalui empat fase workshop. Fase pertama, fase pelatihan gerak tubuh guna memekakan seluruh indera untuk menyempitkan perbedaan antara merasakan dan menyentuh. Hal ini sangat penting untuk mematerialkan apa yang ada di kepala setiap individu yang terlibat di pementasan ke dalam gerak. Fase kedua adalah bagaimana seorang aktor berlatih untuk mengintelektualisasikan bahasa tubuh dan indera yang selanjutnya dipolitisasi melalui tema-tema sosial yang dipilih yang menghasilkan repertoar-repertoar (sandiwara) yang beraneka ragam. Repertoar-repertoar tersebut disadari ataupun tidak seringkali mengkritisi serta mengulas teori-teori besar, ataupun pemikiran keseharian, yang tidak perlu disampaikan oleh seorang profesor doktor. Fase ini sangat membantu memberikan pendidikan sosial yang mencerdaskan.

Tidak disangkal, ide-ide seorang Paolo Feire (seorang yang dikenal dengan konsep pendidikan yang membebaskan) sangat mempengaruhi kesadaran intelektual Boal. Sebagai seorang seniman teater buangan di Peru, dalam program ALFIN (Operacion Alpabetization Integra) sebuah program pendidikan di Peru yang merupakan proyek unggulan untuk penerapan teori Paolo Feire tentang pendidikan bagi kaum tertindas, Boal mengubah sebuah tehnik teater yang membalikkan konsep pendidikan barat, yang menurut istilah Feire adalah sistem pendidikan perbankan. Pendidikan barat, menurut Feire adalah pendidikan bergaya bank yang menempatkan peran guru sebagai 'sang maha tahu' dan mencekoki sang murid yang diposisikan sebagai “mereka yang bodoh dan yang tidak tahu apa-apa”, layaknya account kosong, sehingga dengan demikian dengan mudah pendidik membentuk peserta didik menjadi elemen produktif perekonomian yang kapitalistik. Murid diciptakan menjadi para pekerja yang hanya siap bekerja tanpa keinginan menggugat, dan menjadi pekerja yang berwatak konsumtif meski dalam kemelaratan. Fase ketiga, bersama-sama mengeksplorasi pakem-pakem berteater yang ada untuk menciptakan kekinian, bukan memerankan lakon-lakon yang telah ada dan dapat diubah. Mereka mulai belajar menulis skenario saat itu juga di atas panggung yang dimainkan oleh para pemain yang terlatih. Hal ini lebih dikenal sebagai Teater Forum (Forum Theatre).

Setelah junta militer berhasil digulingkan, Ia pulang kampung halaman tercinta dan mencalonkan diri untuk menjadi anggota Vereador of Rio, semacam dewan kota. Melalui bentuk teater bentuk ini telah dipraktekan menjadi Legislative Theatre berkarya bersama komunitas-komunitas di perkampungan kota untuk mengidentifikasi permasalahan kunci di daerah tersebut. Dengan diskusi di atas panggung teater tersebut mereka membicarakan bentuk keterwakilan massa rakyat bagaimana yang diinginkan oleh rakyat sebagai media propaganda. Hasil diskusi tersebut yang kemudian menjadi basis untuk perwakilan di dewan kota sesungguhnya. Setelah memenangkan salah satu kursi tersebut, maka dengan mudah ia mengumpulkan dana untuk penyelenggaraan Festival teater kaum tertindas ke tujuh yang diikuti 150-an kelompok teater dari berbagai penjuru dunia. Pertama kali diselenggarakan di Brasil pada tahun 1993. Pada fase keempat, setiap peserta workshop benar-benar menjadi pelakon, penulis skenario, sekaligus sebagai sutradara, yang mengkomunikasikan sekaligus membahas isu-isu permasalahan sosial yang ada di mass media, sehingga bagi penonton teater ini lebih dikenal sebagai teater koran (newspaper theatre). Dari fase ini juga terlahir Teater Tak kasat mata (Invisible Theatre), di mana teater dilakukan di ruang publik seperti di pasar atau terminal untuk menarik perhatian mereka yang berlalu lalang di sekitar pementasan.

Selama belasan tahun Boal berkeliling dunia untuk memperkenalkan pedekatan revolusioner dalam teater sekaligus mendirikan beberapa pusat bagi Teater Kaum Tertindas. Ia kemudian mengorganisir acara International Festival of the Theatre of the Oppressed yang pertama di Paris sebagai ajang konsolidasi. Sejak itu bentuk-bentuk teater yang ia ciptakan telah menginspirasi perlawanan melalui media seni, khususnya seni teater, yang merebak di berbagai kolong langit. Wiji Thukul dengan Sanggar Suka Banjir, telah mempraktekkan itu dengan mengajak anak-anak pinggiran kali untuk berteater sambil belajar untuk kritis mengapa mereka selalu kebanjiran, di Kampung Kalangan Jagalan Solo. The 7:48 Theatre Company pimpinan John McGrath dari Inggris mencoba menggambarkan pergolakan kehidupan keseharian pekerja di sana. Demikian pula PETA (Philippines Educational Theatre Association) di Filipinadengan konsep ATOR akronim dari Actor Trainer-Organizer-Researcher (aktor-pelatih-organiser-peneliti) yang berhasil mengorganisir, mengagitasi, serta mempropagandakan pemogokan buruh perkebunan karet dan para petani di Filipina.

Dan semua karya Boal dapat kita simpulkan bahwa yang menjadi tujuan dari setiap bentuk teater yang digubahnya adalah untuk membebaskan masyarakat dari penindasan struktural dan kultural sesuai dengan realitas ruang dan waktu, di mana mereka berada. Setiap orang adalah seniman, dan setiap tempat adalah panggung untuk mengekspresikan permasalahan bersama; belajar mengamati permasalahan bersama; lalu melawan bersama demi membebaskan diri mereka sebagai rakyat tertindas di Rio De Janero, Sao Paulo, Solo, Jakarta, London, Davao, Sidney; yang pasti terbitan ini tidaklah cukup untuk memuat semua nama kota dan dusun di mana massa miskin berjejal.


SENI & PEMBEBASAN
Realitas Sosial
Ketika kita bangun pagi hari-hari ini, jika kita hening pikir-hening rasa sejenak, maka tiba-tiba kita dibelalakkan oleh kenyataan bahwa disekitar kita terjadi akumulasi petaka: wabah busung lapar, nilai jeblok di sekolah-sekolah menengah, rentetan PHK, penggelembungan bola salju kemiskinan, pertikaian berdarah horisontal, bom meledak di mana-mana, korupsi hingga di wilayah perhajian, pola hidup konsumeristik di dalam kemiskinan, harga-harga bahan pokok membubung tinggi, kelangkaan bahan bakar minyak, tidak kalah alam bertingkah tsunami, krisis air bersih, krisis pemimpin bersih, nampaknya kemanusiaan sedang berhadapan dengan tantangan untuk terus eksis di lapisan biosfir ini..
Jika kita mencoba arif maka petaka tersebut dapat disebabkan dua hal, yaitu disebabkan oleh gerak alam dan oleh sistem politik dan ekonomi sebagai infrastruktur tak tertandigi masyarakat modern yaitu neoliberalisme, dengan ritual tahunannya berupa Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Davos, Swiss. Dan memang kemudian terbentuknya kegiatan penyeimbang semacam Forum Social Forum/WSF, semacam ruang bagi berbagai kelompok di dunia yang mencoba mengadvokasi kepentingan rakyat didunia termasuk di Indonesia akan hak-haknya dirampas korporasi global, namun gerakan ini tak sebanding dengan kekuatan global yang semakin menggurita nan meraksasa.

Sekilas Sejarah Gerakan Seni
Perjalanan kesenian selalu sejalan dengan wajah realitas sosial dimana seni itu tumbuh berkembang. Sejauh ingatan manusia dapat dilacak, seni memiliki fungsi tidak hanya sebagai cermin peradaban, namun juga menjadi alat untuk mempertahankan hidup. Di goa-goa prasejarah senirupa menjadi blueprint bagi teknik dalam berburu yang efektif dalam kurun waktu lama. Jaman revolusi pertanian seni instalasi memedi sawah berguna untuk mengusir hama. Di jaman revolusi industri seni digunakan untuk propaganda produk dan propaganda melawan penindasan, propaganda ideologi-ideologi yang sedang bertarung.

Seni dapat terbaca oleh sejarah dan lebih bermanfaat ketika disuarakan secara massal. Era pencerahan diabad 15 merupakan visualisasi dari perkembangan ilmu pasti. Di Indonesia gerakan seni modern berwajahkan Moi Indie berjaya demi tuntutan oleh-oleh bagi kaum Eropa yang pulang kampung. Gerakan realisme termanifes oleh sekumpulan seniman PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar) yang dimotori oleh Agus Djaja dan Sudjojono yang merindukan kemerdekaan dari kolonialisme di tahun 1930an.

Perang Dingin melahirkan gerakan realisme sosialis yang berhadapan dengan kubu gerakan humanisme universal di negeri ini. Kemenangan kaum liberal melahirkan gerakan seni rupa abstrak di awal 1970an. Perayaan yang mencapai titik jenuhnya dibalas oleh gerakan yang menolak formalisme garis abdtrak yang menamakan “Gerakan Seni Rupa Baru”nya Bonyong Muni Ardhi dkk. Gerakan ini semakin tertajamkan oleh Mulyono Cs.. dengan gerakan “Seni Rupa Penyadaran”.

Ketika penindasan semakin tak tertahankan, Jaker (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) Semsar, Yayak kencrit, dll. Mengobarkan realisme sosialis sekali lagi sebagai luapan perasaan sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa bertangan besi dan korup. Hingga 1998 tirani bernama Ode Baru itu seolah tumbang, ruang demokrasi sempit ini digunakan oleh Heri Dono, Edi Hara hingga seniman-seniman revolusioner yang tergabung dalam Taring Padi, Jaker, Gerbong Bawah Tanah dll. di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta untuk berebut pengaruh melawan perusahaan-perusahaan raksasa yang turut bermain karena meyakini seni dapat menjadi media sosialisasi produk mereka. Gerakan kiri melemah seni kerakyatan terombang ambing dan globalisasi semakin leluasa menggerayang.

Poros Pembebasan
“Seni Yang mengandung hal yang buruk dan tak bermoral bagi manusia meskipun indah, harus ditolak !” demikian seorang Plato berkesimpulan. Hal ini lebih ditajamkan ketika ber benturan dengan realitas sosial yang ada dengan statement dari Picasso: “ Lukisan diciptakan bukan untuk hiasan apartemen semata, namun senjata untuk bertahan dan melawan”. Maka dengan demikian seni yang yang mementingkan aspek intrinsiknya, yaitu seni untuk eksplorasi dari keindahan seni itu sendiri adalah tiada bermanfaat dan berbahaya ketika seni hanya membuai kesadaran masyarakat kepuncak pembebasan namun hanya dalam dunia ide ketika situasi sosial mengharapkan fungsi seni untuk membebaskan dari ketertindasan. Aspek ekstrinsik dari senilah yang sebaiknya diprioritaskan dalam berkesenian. Hal ini berarti seni yang mementingkan nilai pengalaman sehari-hari dari keterlibatan sang seniman dengan lingkungan hidupnyalah yang akan memfungsikan seni demi kemuliaan kemanusiaan.

NEO-LIBERALISME DAN KEBUDAYAAN
Neo-liberalisme sedang mengubah kita luar-dalam, dari dalam dan dari luar. Ia bukan lagi guncingan, seolah-olah masih jauh. Polarisasi telah terjadi antara yang pro dan yang kontra. Persekutuan-persekutuan pun telah jadi.
Begitu juga reaksi-reaksi bermunculan, mulai dari perlawanan hingga kepasrahan.

Gelombang neo-liberalisme di atas arus gobalisasi, yang dimudahkan oleh tekonologi informasi, dapat membebaskan seni ke ruang yang lebih besar,tetapi sekaligus memberlakukan hukum yang belum tentu adil dan memudahkansemua pelaku seni dan kebudayaan pada umumnya. Seni dan kebudayaan yang terlempar ke dalam pasar belum tentu utuh, malah mungkin terbelah-belah dalam kemasan-kemasan komoditi. Gagasan pokok "kebebasan" kelihatannya perlu menjadi pusat penyelidikan lagi. Apakah semua kebebasan itu sama, misalnya, sehingga kebebasan yang satu (misalnya dalam menganut agama) harus mengandaikan kebebasan yang lain (misalnya kebebasan modal)? Bagaimana kebebasan harus dilihat dalam hubungannya dengan hak-hak budaya sebagai proses tempatan ketika berhadapan dengan kebebasan modal? Apakah kebebasan ekspresi itu sama fundamentalnya dengan kebebasan pasar? Apakah kebebasan beragama itu sama fundamentalnya dengan kebebasan berkesenian?

Kebebasan multi-tafsir adalah surga bagi ekspresi kesenian. Tetapi fundamentalisme pasar mungkin akan melahirkan hanya kreativitas dan inovasi yang laku di pasar yang tidak pernah sempurna. Maka apakah benar kita ingin membiarkan pasar bebas menjadi tempat kesenian dan reproduksi sosial-budaya dipertaruhkan? Apakah kesenian dan reproduksi sosial-budaya hanya akan mendapatkan investasi melalui pasar bebas? Apakah fundamentalisme pasar juga harus berarti berkurangnya subsidi negara atas seni dan kegiatan-kegiatan
kebudayaan?

Bagaimana pun, keadaan globalisasi yang bertumpu pada teknologi informasi akan mempercepat perubahan-perubahan, meluberkan batas-batas, mempercepat dan mengencerkan pertukaran-pertukaran. Bagaimana kebudayaan sedang berubah dalam konteks dan hubungan dengan semua itu? Bagaimana kesenian dapat memberikan refleksi-refleksi kritis sehingga manusia tidak hanya menjadi penerima pasif dari perubahan, tetapi penentunya, kalau pun memang perubahan harus terjadi? Bagaimana strategi kebudayaan dan kesenian menghadapi gelombang ini? Apakah ada strategi kelembagaan yang harus kita kembangkan?
Apakah ini hanya menyangkut strategi ekspresi (komunikasi) dan ekonomi kesenian? Apakah ada strategi politik yang perlu dikembangkan pelaku kesenian dan kebudayaan? Bagaimana masyarakat harus menghargai dan menikmati kesenian di masa ini? Apakah pijakan kita untuk membujuk masyarakat menghargai dan menikmati kesenian di dalam pasar yang materialistik, instan, dan bergejolak ini? Tingkat kualitas dan strategi komunikasi apa yang harus dikembangkan oleh kesenian untuk dapat berperan maksimal dalam turut
membentuk kebudayaan kontemporer kini dan mendatang?

Kita ingin memahami neo-liberalisme secara lebih utuh, tentang sejarah dan perkembangan mutakhirnya, wujud-wujudnya, serta mewaspadai konsekuensi-konsekuensi budayanya, dan mengkaji pilihan-pilihan alternatif
dalam rangka kita berpikir strategis untuk terus menerus mempertahankan dan memperluas ruang kesenian dan kebudayaan. Kita ingin proaktif, sehingga tidak terlempar begitu saja ke dalam pusaran perubahan.

Friday, December 1
SASTRA SEBAGAI REFLEKSI KEMANUSIAAN
oleh Putu Wijaya

Kemanusiaan kita kenal sebagai sesuatu yang universal. Cita-cita tentang kesejahteraan manusia dikenal oleh seluruh umat manusia di seantero dunia dengan cara masing-masing. Betapa pun beragam corak pelafalannya karena konteks setiap kelompok masyarakat banyak memberikan warna, tidak pelak lagi, semangat itu meruap dari naluri cinta kepada sesama.

Rasa kemanusiaan itu menyeberangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, anutan, dan keyakinan, menembus batas suku dan negara, menyebrangi waktu dan jarak, serta menembus perbedaan strata sosial. Bahkan, tidak terhalangi oleh kekuasaan yang merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam berbagai sengketa dewasa ini.

Sastra sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-masing pada desa-kala-patranya (tempat-waktu-suasananya), sastra telah memilih tema-tema terbaik, seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, dan nafsu-nafsu bawah sadar yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagat raya.

Sastra tertulis, yang kemudian membuat bahasa menjadi halangan untuk mencapai manusia secara serentak, tidak sepenuhnya bisa menghalangi penjelajahan sastra sebagai pengembaraan spiritual manusia sejagat. Dalam waktu-waktu yang tertentu suara-suara kemanusiaan itu secara estafet meloncat dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sehingga cepat atau lambat, seperti air, suara yang mau digemakannya merembes ke seluruh dunia. Sastra lisan yang kemudian merupakan kelanjutan kalau tidak bisa dikatakan pasukan khusus, dari sastra, secara informal menusukkan peluru-peluru kemanusiaan itu, langsung kepada manusia lain dengan bahasa ibunya. Akhirnya, tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa sastra adalah jembatan ajaib yang menghubungkan manusia dengan manusia tanpa perlu melalui petugas pabean apalagi harus menunjukkan paspor.

Sastra menjadi warga negara dunia yang bebas masuk ke mana saja karena dia kelihatan, tetapi tidak tampak seluruhnya. Ia adalah imajinasi yang hanya akan tertangkap oleh mata hati yang peka. Ia berwujud, tetapi tidak seluruhnya bertubuh karena ia adalah sebuah pengalaman spiritual. Sastra sudah menjadi sebuah jaringan internasional yang tidak terkendali lagi kemampuan jangkauannya, tidak terhalang-halangi lagi oleh batas-batas negara dan politik. Ia begitu ampuh, tetapi juga begitu halus, tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh jaringan internet dewasa ini. Sastra sudah membebaskan manusia dari berbagai batasan.

Sastra dengan demikian bukan hanya tulisan dan bukan hanya buku-buku. Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan sehingga merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya. Sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa datang untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama.

Sastra dengan demikian adalah sebuah senjata kemanusiaan yang ditembakkan sebagai upaya untuk memangkas batas-batas yang memisahkan manusia, tidak untuk mengatakan bahwa manusia yang satu harus sama rata dengan manusia yang lain, tetapi hanya untuk menyadarkan bahwa manusia satu dengan yang lain saling terkait dan tidak mungkin hidup tanpa manusia yang lain. Bahwa manusia memiliki kemungkinan yang seharusnya sama, tetapi adalah perjuangan, kegigihan, dan kemudian keberuntungan/nasib baik yang menjadikannya berbeda. Berbeda tidak berarti bermusuhan, tetapi memiliki perjalanan yang tidak sama perkembangannya.

Sebagai sebuah senjata, sastra bisa saja dibelokkan untuk menembak yang lain. Sastra bisa menjadi senjata politik dan memihak kepada kebenaran politik. Sastra juga bisa menjadi prajurit kemiskinan untuk memperjuangkan nasib manusia yang papa agar bangkit dan menjadi seimbang dengan mereka yang gemah ripah. Sastra juga bisa menjadi alat perjuangan bagi manusia-manusia yang tertindas untuk menendang kekuasaan yang menidurinya dengan semena-mena. Akan tetapi, semua itu hanya bagian dari kemungkinan sastra sebagai alat, di tangan manusia yang menciptakannya. Sastra itu sendiri, betapa pun sudah dibelokkan menjadi berbagai senjata, ia tetap saja memiliki potensi dasar untuk menyentuh perasaan kemanusiaan dengan cinta. Kalau tidak, tidak akan mungkin ia potensial untuk menjadi berbagai tembakan meriam.

Sastra yang memihak kepada kemanusiaan, dalam pergolakan politik, kadang kala terasa aneh. Ia bisa dituduh sebagai sebuah mimpi yang mengingkari sejarah karena seperti mengingkari konteksnya. Namun, sebenarnya ia setia kepada konteks dasarnya sebagai suara dasar kemanusiaan yang berbicara untuk manusia secara umum.

Kenyataan di atas sering dipertentangkan, sering membuat sastra menjadi blok-blok yang satu sama lain saling tembak-menembak. Dengan demikian, bukan saja dunia kekuasaan dan dunia politik serta dunia ekonomi yang berperang, melainkan dunia sastra pun berperang. Para sastrawan pun gontok-gontokan. Sastra pun menjadi medan kurusetra dan para sastrawan saling membunuh seperti melupakan hakikatnya untuk menuntun manusia kepada kesejahteraan.

Itulah persoalan kita semua, persoalan seluruh sektor kehidupan kita semua di seluruh dunia. Setiap ciptaan manusia, kalau memiliki potensi luar biasa, akhirnya akan melahirkan kekuasaan. Kekuasaan itu kalau tidak bisa dipergunakan dengan baik akan mencederakan manusia itu sendiri.

Kalau sastra menjadi begitu ampuh, ketika ia menjadi sebuah kekuatan, ia pun mengulangi sejarah kekuasaan yang lama. Sastra dapat dibalikkan untuk menyerang manusia. Sastra yang semula dibuat untuk melindungi manusia dari deraan kekuasaan pada akhirnya bisa menjadi kekuasaan itu sendiri yang tidak segan untuk merobek kemanusiaan.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin mengatakan sebuah kalimat: bahwa sastra adalah barang yang sangat canggih dan sekaligus sangat berbahaya sehingga kita harus benar-benar superhati-hati untuk mempergunakannya untuk menembak.

Sastra Reformasi

Orde Baru dikibarkan menggantikan Orde Lama sebagai sebuah pesta kemenangan. Para teknokrat bergabung membenahi Indonesia yang dinilai sangat rawan kesejahteraan rakyatnya. Agenda pun dipalingkan ke perkembangan ekonomi.

Orde Baru mulai membentuk kelas menengah untuk membuat perubahan. Generasi muda didorong bangkit membangun masa depan dengan cara menjadi interprener. Rakyat diajak memusatkan perhatian pada kesibukan mengisi kemerdekaan. Mereka dibimbing menghadapi kenyataan dan mencintai uang.

Kelas menengah yang kemudian lahir ternyata bukan memelopori penalaran, melainkan malah sibuk mengukuhkan status kemapanannya. Rakyat memang menjadi sadar pada kemiskinannya, lalu menjadi lapar pada kesuksesan, tetapi dalam bentuk materi. Orang mulai terbiasa memburu uang dengan menempuh segala macam cara. Kemajuan-kemajuan fisik tidak diimbangi oleh kesiapan batin.

Kesenian yang merupakan salah satu kanal yang bisa mengantarkan manusia ke arah perkembangan batin amat terpojok. Tempatnya ada di luar pembangunan, bahkan tampak mengganggu. Karena dianggap tidak berguna, kesenian tidak lagi dianggap sebagai aset bangsa, bahkan dinilai sebagai pemborosan, digeletakkan begitu saja di sudut kecil sebagai pajangan pariwisata.

Sastra hampir menjadi sampah yang hanya dilindungi oleh belas kasihan. Fungsinya sebagai pendidikan moral untuk menyempurnakan perkembangan batin manusia menjadi hanya kelangenan. Sastra berubah menjadi hiburan ringan.

Sastra mengkerut menjadi hanya budaya pop. Hiburan sesaat mengikuti kesemarakan pasar. Hal itu ditopang lagi oleh budaya hidup enak yang dikampanyekan oleh majalah-majalah wanita yang gemerlapan dan menjual gaya hidup mewah. Untuk bertahan, sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop maka perlahan-lahan bangkrutlah sastra Indonesia.

Perjalanan kemanusiaan yang bisa ditempuh, antara lain lewat sastra, sebagaimana yang pernah dicanangkan oleh kelompok Manikebu misalnya, kembali gagal. Kemanusiaan sendiri mendapatkan peringkat nol di dalam kehidupan. Yang menjadi perhatian utama pada era tersebut adalah politik, ekonomi, dan teknologi. Akan tetapi, itu pun politik kelas yang berkuasa, ekonomi kelas konglomerat dan teknologi mercu suar.

Reformasi mendadak memberikan kesempatan. Reformasi semacam peluang untuk mereposisi sastra di dalam kehidupan. Dapat diharapkan bahwa posisi sastra akan kembali. Segala keluhan di masa lalu mendadak tidak lagi menjadi hambatan. Para penulis bisa leluasa untuk memilih tema dan mengekspresikan pendapatnya terhadap segala macam soal. Sensor yang dianggap sebagai biang kerok kebangkrutan sastra sudah lumpuh. Sastrawan memiliki kemungkinan.

Kita sedang memasuki proses pembebasan sekarang, membuka pintu dan memulai kerja besar. Namun, benarkah sastra melangkah laju ke depan bila tanpa hambatan, tanpa ditolong oleh siapa-siapa? Beranikah, mampukah, dan berhasilkah sastra membuktikan keberadaannya yang istimewa penting di dalam kehidupan yang lebih bebas?

Di masa lalu, bukan hanya sastra, hampir seluruh sektor kesenian ikut mengeluh terhadap berbagai keterbatasan. Sensor yang garang dan sewenang-wenang merupakan alasan yang empuk untuk membenarkan bahwa layaklah tidak ada hasil besar yang lahir. Padahal, pada zamannya tidak sedikit hambatan yang dihadapi oleh Pramudya Ananta Toer, tetapi dia berhasil mencetak hasil-hasil monumental. Bahkan, pada zaman kensengsaraan Manikebu, tidak sedikit halangan terhadap para Manikebuis karena mereka dilarang berkarya, tetapi lahir penyair-penyair besar seperti Goenawan Mohamad, misalnya. Di era Orde Baru yang dianggap sebagai neraka bagi kebebasan berekspresi tetap saja melambung karya-karya Rendra, Sutardji, Danarto, Budid Darma, dan sebagainya seperti tidak tersentuh oleh berbagai hambatan.

Kini, ketika pintu kebebasan sudah dibuka, akan lahirkah sastrawan besar dan karya besar yang lain? Seharusnya lahir. Tanpa hal itu bagaimana mungkin sastra dapat mereposisi dirinya? Akan tetapi, sayang, sudah setahun reformasi bergulir yang lahir baru novel Saman dari tangan Ayu Utami, pengarang wanita yang dipuji oleh para pengamat sebagai jenius yang membawa cakrawala baru bagi sastra Indonesia, Malu Aku Jadi Orang Indonesia, kumpulan sajak Taufiq Ismail., novel dari Danarto, Remy Sylado, Titis Basino, serta Dono Warkop. Ke mana para pengarang yang lain?

Mereka sedang giat menulis atau ikut berkampanye? Apa karena krismon yang membuat harga kertas membubung tinggi, penerbitan menjadi seret? Apa karena prioritas dikerahkan pada pemulihan ekonomi dan kestabilan politik? Apa karena tidak terbiasa oleh kebebasan? Apakah kebebasan justru membuat sastra jadi tidak berdaya?

Di masa lalu, ketidakbebasan justru menstimulasi sastra menjadi lebih tajam dan produktif. Sementara itu, kebebasan sering kali berakhir dengan kebingungan apabila memang jiwa sastrawannya memang tidak bebas. Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu akan mengisi dengan apa.

Mungkin sekali bahwa kebebasan formal tidak hanya memberikan peluang, tetapi juga dapat membunuh karena dalam ketidakbebasan macam mana pun selalu ada peluang bagi kreativitas untuk berkelit dan mengucur. Dengan demikian, sastra tidak pernah tidak ada, kalau memang dia ada. Sebaliknya, kalau memang tidak ada, dibebaskan dengan cara bablas-bablasan pun dia tetap tidak akan hadir atau menjadi bertambah jelas bahwa kebebasan bukan satu-satunya yang diperlukan sastra. Jauh lebih penting dari kebebasan adalah visi. Sastra harus menghidupkan visi. Para sastrawan adalah visoner-visioner yang akan membuat karya sastra menjadi masukan-masukan berharga bagi kehidupan dalam aspek masing-masing sehingga sastra tidak hanya berhenti sebagai sastra. Akan tetapi, sastra berawal dari sastra dan kemudian berserak ke seluruh sektor kehidupan. Dengan demikian, sastra baru akan memiliki wibawa yang setara dengan pengetahuan karena memiliki akses ke segala arah. Sementara itu, keindahan bahasa adalah bonusnya.

Era reformasi bagi sastra dalam pengamatan saya bukan berarti "Pembebasan" yang berarti bahwa kini adalah saatnya sastra dapat berbuat apa saja. Bahwa kini saatnya sastra dapat menuliskan apa saja adalah tidak karena sastra selalu komplit. Sastra selalu mendua. Sejak adanya, sastra mengandung kebebasan dan ketidakbebasan. Mengapa? Sastra yang berpihak memang tidak pernah bebas. Sastra yang bebas tidak pernah bisa ditahan oleh apa pun karena memiliki kreativitas untuk mengelak. Keduanya bangga atas keadaannya. Suka dan tidak suka, kebebasan dan ketidakbebasan ternyata saling melengkapi.

Sastra reformasi, menurut hemat saya, bukan "pesta kebebasan dan selamat tinggal ketidakbebasan", melainkan masalah kesempatan dan agenda. Masalah prioritas apa yang seyogianya harus dilakukan oleh sastra, baik sastra yang berpihak maupun sastra yang bebas, pada saat ini. Saat Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dicoba diganti dengan tatanan baru yang kita sendiri juga belum tahu seperti apa jadinya nanti merupakan kesempatan untuk mengembalikan sastra sebagai sembako jiwa.

Dalam bayangan saya, sastra reformasi adalah sastra yang menyadari benar artinya sebagai sembako batin. Namun, dia juga mengerti di mana posisinya kini. Idealismenya mengandung strategi. Sastra harus melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Kalau tidak, tujuannya akan terganggu atau terjegal lagi, bukan karena tidak diterima oleh masyarakat, melainkan karena tidak dewasa menyikapi situasi.

Sastra adalah jembatan untuk masuk ke hati manusia di segala sektor kehidupan. Oleh karena itu, sastra tidak mungkin tidak tetap akan menghadapi berbagai halangan. Kesulitan-kesulitan di masa lalu bukan tidak akan mungkin akan terulang lagi. Kekurangan penerbit, jalinan distribusi yang tidak lancar, aturan main yang tidak mendukung, bahkan juga sensor, dan sebagainya yang dahulu dikeluhkan mungkin masih akan dihadapai lagi menjadi bertambah berat karena terjadi dalam era reformasi.

Kesempatan sastra di dalam era reformasi adalah ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan secara aktif, membuktikan dirinya bukan hanya semata-mata hiburan dan bukan sekadar "sastra". Untuk itu, sastrawan sendiri harus berkemas, membenah diri, dan belajar. Penampilan yang rusak, citra yang kalang kabut, serta wawasan dan gagasan yang mgawur dan mabuk justru akan dengan cepat membalikkan kesempatan itu menjadi bukti bahwa sastra memang harus dikubur karena memang benar sampah.

Apa yang harus dilakukan oleh sastra? Banyak sekali. Dia harus menunjukkan kualitas dan sekaligus kuantitasnya. Dia tidak boleh enak-enakan menuntut apalagi mengemis pengakuan. Sastra harus berjuang untuk merebut pengakuan seperti partai-partai merebut kursi dalam pemilu. Kalau tidak berhasil, jangan lagi menuding rakyat tidak mempunyai apresiasi, tetapi mungkin perjuangannya masih belum cukup teruji. Oleh karena itu, sastra perlu bisa membuktikan dirinya berkaliber sehingga mau tidak mau pantas diakui.

Sastra akan dituntut untuk lentur, lihai, cerdas, dan barangkali juga harus bijaksana. Sastra harus mampu membangun imij bahwa ia adalah pekerja pendidikan jiwa yang setara dengan pekerja-pekerja kehidupan lain, seperti sejarah, politik, ekonomi, atau teknologi, misalnya. Dalam sastra orang mendapatkan kearifan dan memperkaya pengalaman-pengalaman batinnya.

Sastra dituntut oleh keadaaan untuk bisa menunjukkan bahwa tanpa sastra kehidupan akan berjalan timpang. Hal itu tidak cukup dengan sebuah slogan, tetapi kerja nyata sehingga ada bukti, dengan karya-karya yang berkesinambungan, dengan usaha-usaha, dengan percobaan-percobaan, serta barangkali juga dengan berbagai penderitaan, frustasi, dan kegagalan-kegagalan. Walhasil kembali lagi: tekanan.

Sastra harus membebaskan dirinya dari menempatkan kesulitan-kesulitan sebagai pembenaran kemacetan sastra. Ancaman dan tekanan adalah sesuatu yang sudah terbiasa pada sastra. Sering hal itu menjadi kekuatan sastra sendiri. Kalau tidak berani menghadapi kesulitan, barangkali memang tidak perlu menjadi sastrawan.

Siapkah sastrawan Indonesia menerima sastra sebagai pekerjaan? Siapkah sastrawan menumbuhkan etos kerja yang lebih kerasukan? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan disusul dengan pertanyaan: siapkah pemerintah dan masyarakat menerima sastra sebagai sembako? Selanjutnya, akan melahirkan pertanyaan: siapkah sastra menjadi sembako? Akhirnya, akan kembali sebagai pertanyaan: siapkah satrawan menjadikan sastra itu sebagai sembako?

Era reformasi tampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra Indonesia lebih baik kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai sastrawan. Mereka tidak cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label reformasi di kepalanya, atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-karya. Hal itu mutlak memerlukan kerja.

Reposisi Sastra Indonesia

Posisi sastra Indonesia kini sudah sedemikian terpuruk menjadi barang yang tidak relevan dalam konteks pendidikan. Sastra Indonesia sudah pailit. Anak-anak sekolah Indonesia hampir tidak mendapat pelajaran sastra lagi. Dalam sebuah penyidikan informal, sastrawan Taufiq Ismail menemukan bahwa pelajar Indonesia membaca 0 (nol) buku di dalam kurun 3 tahun, sedangkan pelajar dari berbagai negara mencatat 10 sampai 30 buku. Malangnya, keadaan yang amat papa itu masih dianggap sudah lumayan karena sastra masih ditempelkan pada pelajaran bahasa sebagai aksesoris, seakan dengan mempelajari bahasa Indonesia sudah dengan sendirinya menguasai sastra Indonesia. Hasilnya pelajaran sastra Indonesia adalah embel-embel dari pelajaran bahasa dan memang tidak perlu diberikan "otonomi daerah".

Dalam posisi yang "hina" dan "sepele" tersebut upaya memberdayakan sastra Indonesia, sebagai potensi untuk membangun Indonesia baru, menjadi absurd, kecuali kalau kita melakukan reposisi radikal terhadap pengertian sastra itu sendiri, sebuah upaya akrobatik, yang ambisius dan bombas, untuk memberdayakan kembali lahan yang sudah mati suri itu. Kalau hal itu tidak dilakukan penyulapan, dari tempatnya yang mati kutu seperti sekarang, sastra jangankan berdaya, bernapas pun tidak mampu.

Dengan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi harus dipujikan bahwa pelajaran bahasa Indonesia membuat orang belajar tentang ilmu tata bahasa, mengerti tentang bahasa Indonesia sebagai ilmu, dan mau tidak mau juga akan mengerti logika dasar manusia Indonesia dalam merekam dan menyimpulkan berbagai satuan kehidupan ke dalam bahasa. Pelajaran bahasa adalah pelajaran menghafal pengertian kata dan menyusun kalimat yang membentuk pengertian untuk dilepaskan dalam lalu lintas percakapan. Pelajaran bahasa mengantarkan bagaimana mempergunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang memiliki tatanan.

Akan tetapi, pelajaran tata bahasa tidak dengan sendirinya bermakna berlatih mempergunakan bahasa untuk membentangkan alam pikiran personal kepada orang lain. Pengetahuan bahasa belum tentu menjamin yang bersangkutan fasih apalagi lihai mempergunakan bahasa Indonesia untuk mengembangkan renungan-renungannya tentang makna-makna dalam kehidupan. Bahasa Indonesia tidak dengan sendirinya bisa menjadi idiom pengucapan personal yang secara efektif mampu menolong proses pemikiran dan ekspresi emosional seseorang kalau tidak disertai latihan-latihan khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sastra. Ilmu tata bahasa hanya sampai sebagai sebuah pengetahuan untuk dapat menganalisis bahasa, bukan sebagai alat mentransver apalagi mengonversi pengertian personal.

Akibatnya, ketika seorang yang ahli bahasa Indonesia berpikir, merasa, dan kemudian berbicara untuk mengekspresikan pengalaman personalnya, ia belum tentu berhasil mengembangkan bahasa itu menjadi kosakata yang secara akurat mewakili makna-makna yang hendak diutarakannnya, apalagi menyangkut pengalaman-pengalaman spiritual yang pelik, abstrak, dan penuh dengan asosiasi serta simbol-simbol yang merupakan kegiatan khusus sastra. Di dalam sastra, ilmu bahasa, tata bahasa dikembangkan, diaplikasikan, dan dipergunakan untuk menerjemahkan berbagai pengalaman spiritual seseorang agar dapat sampai kepada orang lain secara akurat dengan berbagai cara.

Sastra sebagaimana yang selalu kita kenal selama ini selalu diidentifikasi sebagai karya tulis, karya indah yang tertulis, baik berbentuk puisi maupun prosa. Lebih jauh lagi, yang menonjol adalah faktanya sebagai sebuah fiksi. Ia dibedakan dengan kenyataan faktual. Hubungannya dengan intuisi dan emosi sangat kental. Akan tetapi, kesinambungannnya dengan rasio, pemikiran, dan telaah-telaah sudah dipreteli habis. Dengan demikian, sastra menjadi penari strip tease, penyebar keindahan yang menimbulkan kelangenan, kenikmatan, keasyikmasyukan, dan akhirnya kealpaan dan bencana.

Sastra sebagaimana di atas kopong dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan "sastra" lagi. Dia menjadi barang komoditas yang bertuan kepada bisnis. Hidupnya subur dan didukung oleh lapisan masyarakat yang luas. Dia menjadi barang nyamikan masyarakat yang menimbun lemak serta kolestrol.. Akhirnya, hal itu membawa masyarakat ke dalam pendangkalan-pendangkalan sehingga massa menjadi tolol, masa bodoh, dan malas untuk berpikir. Sastra pun menjadi kuburan dan pelarian bagi pemalas.

Sastra yang mengisi pasar itu memiliki kekuasaan dahsyat. Ia masuk ke dalam gubuk-gubuk kecoak sampai ke rak buku masyarakat kelas elit yang menyembahnya sebagai berhala. Sastra semacam itulah yang memiliki kekuatan nyata. Para sosiolog, ahli sejarah, dan psikolog mengenalnya secara baik. Karena lewat sastra itulah ia dapat membedah fenomena masyarakat pada suatu masa. Dari makanan batinnya itulah mereka mengenal isi perut dan lekuk-lekuk otak manusia macam apa yang menghuni suatu dekade. Lalu, mereka menulis risalah sejarah, sosiologi, psikologi dan malangnya kadang kala tidak tertolak juga menulis risalah sastra. Walhasil, bukan sesuatu yang tidak berguna.

Akan tetapi, kita memang tidak sedang bicara soal kegunaan. Karena apa pun substansinya, apabila dipandang dari sudut kegunaan, sastra tetap akan berbunyi kemanfatannya. Kita mencoba melihat sudah ada penyimpangan nilai-nilai antara kegunaan, kepentingan, dan kualitas. Karena fenomena sastra dagangan memiliki kegunaan dan penting dalam mengungkap fenomena masyarakat, ia cendrung dianggap memiliki kualitas. Sementara itu, yang benar-benar berkualitas, karena tidak secara gamblang menunjukkan kegunaan dan memerlukan waktu untuk mengidentifikasi arti pentingnya, menjadi sampah.

Khususnya terhadap berbagai peninjau dari mancanegara, secara berseloroh pernah disindir oleh pemusik Slamet Abdul Syukur, bahwa mereka biasanya melakukan telaah dengan melempar batu ke hutan, lalu mencari-cari batu yang barusan dilemparkannya (anekdot ini saya dengar dari orang lain). Merekalah yang sering memberi label keliru karena kepentingan mereka berbeda. Namun, kekeliruan mereka kemudian menjadi hukum karena penghargaan kita terhadap peneliti mancanegara demikian tinggi.

Sudah terjadi kerancuan di dalam sastra Indonesia, kerancuan yang amat mendalam, karena kiblatnya adalah kepentingan dalam tanda kutip "Barat". Namun, hal itu bukan tidak penting. Karena dari kerancuan itu, menjadi semakin terang, sastra apa yang selama ini "tidak" dibicarakan. Sastra itulah yang akan kita bicakan berikut ini.

Yang kita maksudkan dengan sastra adalah daerah gelap yang belum dijelajah oleh tangan-tangan peneliti yang tidak lain dari "pencari batu yang dilemparkannya sendiri itu". Hal itu harus dimulai dengan tidak lagi hanya memarkir sastra sebagai tulisan yang indah dan menarik saja. Sastra adalah seluruh ekspresi manusia yang diutarakan dengan bahasa, tertulis ataupun tidak tertulis dan indah atau pun tidak indah.

Apakah itu penting, berguna atau berkualitas, tidak ditentukan oleh mereka yang menilainya. Ia ditentukan oleh eksistensinya sendiri. Selama ia merupakan ekspresi lewat bahasa, ia adalah penting, berguna dan berkualitas sebagai sastra. Sastra adalah seluruh upaya bahasa untuk mengekspresikan eksistensi manusia-manusia yang diaturnya.

Sastra dengan demikian tidak lagi hanya merupakan barang hiburan. Bahwa ia dapat menghibur, itu besar kemungkinannya, tetapi bukanlah tujuannnya. Sastra adalah seluruh pengucapan manusia, seluruh pikir rasa dan karsa manusia lewat bahasa yang mereka kuasai. Sastra adalah pemikiran, perenungan, pencarian, pengembaraan, dan pengutaraan pengalaman spiritual manusia bersangkutan dengan memakai bahasa sebagai wadahnya.

Sastra adalah sebuah dialog, pencarian spiritual terhadap berbagai makna dengan bahasa sebagai alatnya. Jadi, sastra bukan bahasa itu sendiri. Sastra juga bukan sekadar alat dari bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kosakata untuk menerjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat. Bahasa bagaikan sungai tempat sastra mengalir menuju ke makna yang hendak disergapnya. Bahasa dan sastra adalah dua sekawan yang saling membahu untuk mengembangkan daya jangkau pikir-rasa dan karsa manusia yang mencari jati dirinya.

Sastra tidak bisa lagi dipelajari hanya sebagai teknik penulisan. Sastra bukan hanya penggolongan jenis-jenis tulisan dengan bentuk-bentuk yang dipakainya. Sastra adalah perkembangan pemikiran di dalam memahami kehidupan dan seluruh fenomenanya. Sastra juga bukan hanya cerita, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan, dan permainan bahasa. Sastra adalah cara mengidentifikasi, sikap, dan pilihan sudut padang dalam membelah kenyataan-kenyataan sosial dan spiritual dengan bahasa sebagai mediumnya.

Pelajaran sastra yang selama ini diwarnai dengan kegiatan penghafalan nama serta tahun-tahun merupakan kesalahan besar. Pelajaran sastra seyogianya adalah pelajaran tentang proses pemikiran. Ia bersangkutan bukan hanya dengan masalah-masalah estetika kendati estetika merupakan bagian yang sangat penting di dalam sastra. Ia memerlukan berbagai ilmu bantu, seperti filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah, politik, bahasa itu sendiri, dan bahkan juga ekonomi dan teologi.

Mempelajari sastra tidak lagi hanya merupakan upaya untuk menangkap gambar-gambar pengembaraan imajinasi, tetapi struktur pemikiran. Sastra merupakan tesis, telaah, skripsi bahkan disertasi dari pengarangnya terhadap tema yang ia tekuni. Wilayahnya berserak di seluruh wilayah pengetahuan. Sastra tidak mungkin kurang dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Sastrawan adalah ilmuwan dan teknokrat yang berbicara tidak dengan angka-angka dan rumus-rumus mati, tetapi dengan makna-makna yang bergerak terus.

Dengan memosisikkan sastra semacam itu, sastra menjadi memiliki berbagai kekuatan konkret. Pertama, sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi sebagai wilayahnya dan yang senantiasa terus bergerak. Ia tidak semata-mata fiksi, tetapi juga bukan fakta yang kering. Ia merangkul keduanya sehingga memiliki wilayah jelajah yang tidak terbatas.

Kedua, sastra adalah seminar terbuka yang terus-menerus berproses mengikuti pasang surut kehidupan. Kesimpulan-kesimpulannnya bertumbuhan. Ia mengembangkan budaya interpretasi, melihat segala sesuatu dari segala sudut berbeda dengan hasil yang berbeda, dengan kebenaran yang berbeda, tetapi saling menunjang sebagai sebuah keutuhan. Sastra adalah pendidikan jiwa yang mengembangkan citra manusia dan kualitas kehidupan dari dalam batin manusia. Sastra mengajak manusia untuk terus menelusuri perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan.

Ketiga, sastra adalah senjata yang efektif dan kekuasaan raksasa yang lunak. Dengan sastra, dapat dicapai berbagai hal yang tidak tergapai oleh kekerasan senjata. Pada gilirannnya sastra yang berpotensi memiliki kekuasaan untuk mengarahkan manusia ke tujuan yang hendak digiringnya dengan pesona bahasa dan makna-maknanya tanpa keterpaksaan dari yang bersangkutan.

Barangkali masih dapat dicari kekuatan sastra yang lain, tetapi tiga hal di atas saja sudah cukup untuk membuat sastra berhenti tidak berdaya. Sastra yang diciptakan oleh manusia menjadi potensial untuk membangun manusia. Dalam situasi perpecahan yang kini merebak di mana-mana sastra juga tidak sedikit kemungkinannya untuk menyumbangkan andil karena sastra dapat menembus apa yang tidak tertembus oleh senjata. Sastra dapat menggerakkan apa yang tidak bergerak oleh kekuasaan. Sastra dapat menghubungkan apa yang tidak dapat terhubungkan oleh jembatan persatuan. Pada puncaknya sastra dapat memberdayakan bahasa agar lebih hidup dan lebih bermakna dalam pergaulan manusia.

Dengan bahasa, manusia dapat bertemu dan merasakan dirinya satu nasib. Membangun dan mengembangkan sastra Indonesia dengan sendirinya juga memosisikan sastra sebagai perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, hal itu tidak akan mungkin terjadi sebelum kita mereposisi sastra dalam peta pendidikan kita mulai sekarang. Sastra berhak menjadi bagian dari ilmu pengetahuan sehingga sastra menjadi baru dan relevan. Sastra harus tidak sepantasnya hanya benalu apalagi virus dalam pelajaran bahasa sebagaimana tersistemkan dalam pendidikan kita selama ini.

Pemberdayaan Sastra Indonesia

Sastra dalam pelajaran kesusastraan ketika saya masih belajar di sekolah menengah didefiniskan lewat padan katanya. Karena sastra berarti tulisan, kesusatraan adalah segala tulisan yang indah. Yang kemudian langsung menjadi khazanah sastra adalah buku-buku karya fiksi dan puisi.

Namun, sampai pada istilah sastra lisan, pengertian tersebut menjadi sedikit bingung. Secara harfiah, sastra lisan berarti tulisan yang diucapkan. Seharusnya ada wujud tulisannya dahulu agar bisa diucapkan. Namun, pada praktiknya sastra lisan sejak lahir sudah merupakan tutur yang bukan perpanjangan dari tulisan. Kemudian, memang tutur itu ditranskripsikan ketika mulai diposisikan sebagai kekayaan budaya. Namun, ketika ekspresi lisan itu dibekukan dalam bentuk tulisan, kenikmatannya berbeda. Ia tak menjangkau seluruh eksistensinya ketika masih lisan.

Sebagai seorang penulis, saya tidak memandang sastra sebagai hanya tulisan, tetapi sebagai pengertian sehingga ia bisa disampaikan dengan tulisan ataupun lisan. Akan tetapi, sastra juga bukan pengertian saja. Ia memiliki satu kelayakan yang membedakannya dengan pengertian yang bukan sastra. Sastra mengandung pemikiran dan perasaan kemanusiaan yang erat kaitannya dengan bahasa.

Semua ekspresi yang memakai bahasa sebagai basis kekuatannya bagi saya adalah sastra. Kalau ada pengertian yang lebih bagus dari itu, setiap saat saya bersedia mengkhianati pengertian yang sudah saya anut selama ini karena upaya untuk terus-menerus menyempurnakan penggerebekan ke arah yang lebih sempurna adalah bagian dari cita-cita sastra. Oleh karena itulah, dalam alam pikiran saya, sastra tidak mengenal kontrak mati dengan satu isme atau idiologi, apalagi sikap politik. Kalau ada aliran dan idiologi sastra, hal itu adalah kebimbangan dan pengkhianatan pada kesimpulan yang salah.

Melalui pemahaman tersebut, saya akan mencoba berbicara tentang pemberdayaan sastra Indonesia.

Pengertian Indonesia Baru, bagi generasi 28, ketika Sumpah Pemuda (1928) dicetuskan, pasti sesuatu yang asing karena pengertian Indonesia sudah berarti baru. Pengertian itu mengandung cita-cita politik yang merupakan lompatan besar, mengubah teritorial Nusantara menjadi sebuah negara yang merdeka.

Pengertian "baru" dicantelkan kepada Indonesia sesudah gerakan reformasi pada tahun 1998, ketika pengertian Indonesia menjadi terkontaminasi oleh kepemimpinan yang membawa Indonesia masuk ke dalam jurang penindasan hak-hak asasi manusia. Pengertian Indonesia baru sebenarnya sama saja dengan pengertian Indonesia dari generasi 28 -- hanya saja dahulu targetnya merdeka dari kolonialisme, kini merdeka dari penindasan rezim dari dalam sendiri. Pengertian baru mengandung makna pemindaian (scanning) ulang, defragmentasi, instal dan format ulang terhadap harddisk Indonesia yang sudah salah.

Sastra memiliki kepentingan besar dalam kerepotan yang langsung menyangkut pemulihan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut. Bagi sastra, hal itu sekaligus juga berarti pemulihan terhadap hak-hak asasinya sendiri karena dalam beberapa dekade gelap sebelum reformasi sastra juga termasuk yang sudah diinjak-injak di bawah kepentingan politik dan ekonomi sekelompok penguasa.

Tidak ada bedanya dengan keadilan dan kebenaran, sastra pun -- sebagai bentuk pengucapan pikiran dan perasaan yang memakai bahasa - sudah dihajar habis-habisan. Karena bahasa merupakan bagian dari alat kontrol sosial yang sangat efektif di samping senjata. Bahasa telah menjadi balatentara rezim yang dengan ganasnya mendera rakyat. Akibatnya, sastra pun menjadi tidak saja mandul, tetapi terutama sekali berbalik sesat. Sastra yang indah itu berubah menjadi binatang buas yang mengunyah-ngunyah kemanusiaan itu sendiri.

Dalam keadaan yang terbalik itu, bahasa tidak lagi jembatan untuk mengucapkan pikir dan rasa antara manusia yang merdeka, tetapi polisi-polisi dan mesin virus yang menyebarkan ketakutan dan teror sehingga massa membeku. Ucapan tidak bisa lagi dipercaya. Kalimat bersipongang dan memekakkan, tetapi kosong, khususnya pidato-pidato para pejabat. Kata-kata dan ungkapan rezim menjadi "safe deposite" yang menyembunyikan kejahatan-kejahatan. Sastra menjadi bromocorah. Sastra adalah bandit yang menguasai alam pikiran.

Karya sastra yang masih menyuarakan ekspresi yang jujur dan dahulu dipelajari sebagai kesusastraan, atas nama kelangenan yang membuat orang malas, lantas dimasukkan ke bak sampah. Ia dianggap perangkat yang kedaluwarsa di tengah dunia yang sudah berteknologi tinggi. Para pelajar ditipu mentah-mentah untuk lebih percaya kepada angka-angka yang kemudian dengan lihainya disulap di dalam "dagang" yang membuat pelajar kebingungan. Teknologi pun kotor karena hanya berisi khayalan, tetapi disembah seakan-akan itulah dewa penyelamat yang akan membawa bangsa ke mimpi gemah ripah loh jinawi.

Para ilmuwan melarikan diri dan bersembunyi di gua pertapaannya. Para sastrawan juga ikut mengacir berserakan ke sana kemari karena merasa hina dan berdosa terus menjadi pabrik tidak berguna. Mereka mengubah seragamnya menjadi politikus, pejabat, wartawan, atau amtenar yang terasa lebih konkret memikirkan realitas dan kepentingan rakyat serta masa depan negara. Yang masih setia menjadi sastrawan hidupnya kumuh dan tidak dapat tempat, kecuali bila berhasil menjadi "maling-maling" besar, sebagaimana Rendra. Namun, banyak sekali di antaranya justru "menikmati" keadaan tidak berdaya tersebut karena bisa menyembunyikan kemalasan dan ketidakmampuannya. Sambil pura-pura berteriak kesakitan, sastrawan bersangkutan tidur dan melakukan masturbasi. Mereka mengaum mengaku sudah dipasung rezim yang berkuasa, tetapi setelah reformasi semua orang boleh melakukan apa saja. Mereka juga tetap tidak berbuat apa-apa karena memang "dari sananya" sudah tidak berdaya.

Kenyataan yang juga harus diakui adalah bahwa di masa jayanya sensor, keberanian saja cukup membuat orang menjadi sastrawan. Sastra secara rahasia berubah artinya sebagai seni memaki, seni menghujat, seni menista, dan seni mencuri. Tidak peduli nilai karyanya asal tampak bersikap menyakiti dan mengganggu penguasa terasa sebagai karya yang berdarah dan besar.

Sastra yang semestinya mempunyai potensi untuk membangun manusia (baca:bangsa) dari dalam jiwanya menjadi bangkrut. Yang tinggal adalah sastra sebagai barang komoditas. Sastra menyediakan diri sebagai paket-paket hiburan untuk mengeloco anggota masyarakat yang impoten karena kekuasaan sudah mengontrol masyarakat sampai daerah-daerah pribadinya di atas tempat tidur.

Sebagai barang komodias, sastra ternyata cukup berhasil. Jumlah buku, presentasi membaca, serta para penulis bertambah. Penerbit-penerbit menjamur, sebagian menjadi raksasa yang menghasilkan duit besar. Setiap hari ada saja buku baru yang terbit. Media massa berkembang pesat sehingga para konglomerat mulai ikut malang melintas di usaha para kuli tinta itu. Jumlah majalah dan koran nasional dan lokal, apalagi sesudah reformasi, membludak.

Eskspresi komersial yang mempergunakan bahasa sebagai kekuatannya berkembang pesat. "Sastra" terpacu secara kuantitas. Dalam soal kualitas pun bukan tidak ada karya hebat yang lahir. Banyak sastrawan baru lahir yang tidak kalah pamornya dengan sastrawan tua. Sementara itu, sastrawan senior pun terus produktif. Pramudya masih menulis di samping Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Darma, Sutarji C. Bachri, Taufiq Ismail (sekadar menyebut beberapa nama), ditambah lapisan baru, seperti Afrisal Malna, Seno Gumira Aji Darma, dan Ayu Utami..

Memang secara perseorangan sastra Indonesia dalam keadaan keos masih normal-normal saja. Artinya, di ruang hidupnya yang kecil masih ada satu dua kutu buku yang terus bekerja dengan setia. Hasilnya pun bagus. Akan tetapi, sebagai potensi kultural, sastra Indonesia sangat tidak berkekuatan. Jangan mengukur kekuatan dari analisis seorang kritikus yang meskipun berhasil menerbitkan pikirannya ke dalam buku karena buku itu tidak ada yang membaca. (Rata-rata satu judul buku sastra yang dicetak 1000-3000 eksemplar tidak habis dalam waktu 5 tahun meskipun memang buku Ayu Utami belum lagi satu tahun sudah mengalami cetak ulang berkali-kali).

Sastra sebagai sebuah batalyon kekuatan sudah memble karena dari 200 juta lebih bangsa Indonesia, yang membaca dan memanfaatkan sastra sangat sedikit, nyaris memalukan. Dalam satu usaha informal dan pribadi, penyair Taufiq Ismail melakukan wawancara pada kelompok pelajar dari seluruh dunia. Ia menghasilkan tabel yang sangat mengejutkan. Ternyata antara 20 s.d. 30 buku yang dibaca oleh setiap pelajar di berbagai dunia selama periodenya sebagai pelajar, pelajar Indonesia mencatat 0 buku.

Tidak heran kalau banyak mahasiswa sebagai perpanjangan dari pelajar Indonesia tidak mampu mempergunakan bahasa. Akibatnya, skripsi sebagai karya akhir di perguruan tinggi juga tidak ada gunanya karena memang tidak bisa ditulis oleh mereka yang tidak punya pengalaman mengolah bahasa. Kalau dipaksakan pun, hal itu akan menjadi dagelan, sudah banyak kasus terungkap skripsi ditulis oleh para penyedia jasa skripsi.

Taufiq kemudian membuat lobi kepada mereka yang berwenang di Bapenas. Dari hasil diskusi tersebut didapat kesepakatan bahwa kekeliruan besar yang sangat mendasar sudah terjadi bertahun-tahun. Sastra tidak mungkin hanya sastra. Sastra adalah perangkat yang berhubungan langsung dengan semua kegiatan. Kalau itu lumpuh, secara tidak langsung akan cacad pula sektor-sektor lain.

Dari peristiwa itulah kemudian mengucur biaya untuk membuat acara temu sastra dengan guru-guru sekolah. Dengan amat antusias para guru bahasa dari berbagai sekolah bertemu langsung dengan para sastrawan untuk mendengarkan dan mendiskusikan sastra. Mereka tampak begitu rindu dan banyak yang terkejut melihat sastra begitu dekat dengan berbagai persoalan sehari-hari. Sastra sangat relevan dengan kegiatan mereka dalam rangka pembelajaran anak-anak bangsa.

Kegiatan temu sastrawan itu semula hanya dilakukan di Jakarta, kemudian meluas se-Jawa Barat-Jawa Tengah dan diharapkan kelak akan menjadi kegiatan di seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut kemudian disambung dengan kegiatan sastrawan masuk sekolah yang mendapat dukungan dari Ford Foundation.

Saya tidak mengatakan bahwa itulah cara yang terbaik untuk mengatasi ketidakberdayaan sastra. Namun, itulah salah satu contoh bahwa ketidakberdayaan di samping dibicarakan, harus segera diatasi dengan tindakan. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari yang memerlukan biaya sampai yang tidak memerlukan apa-apa, bahkan bisa mendatangkan uang.

Dalam pemahaman saya, yang harus menjadi agenda sastra dalam menyongsong Indonesia Baru adalah pemberdayaan sastra, menjadikan Indonesia -- dalam pengertian sastra - kembali memosisikan sastra sebagai alat yang setara dengan peralatan kehidupan lain, seperti teknologi, ekonomi, dan politik.

Sastra adalah sebuah profesi dengan para sastrawan profesional sebagai kawulanya. Pemberdayaan sastra adalah bagian dari pemberdayaan seluruh sumber daya/potensi Indonesia. Dengan mobilisasi seluruh potensi itu, kita mencoba untuk menggarap target besar yang selama ini sudah diformulasikan oleh ucapan: gemah ripah loh jinawi lewat sektor dan tanggung jawab para profesional.

Pemberdayaan sastra boleh jadi sudah merupakan isu sangat klise sekarang. Oleh karena itu, pemberdayaan sastra dengan mudah kemudian bisa dianggap mengacu kepada kesempatan untuk menuntut pemerintah memberikan perlindungan berupa subsidi dan penghapusan sensor yang tidak lebih dari sedekah atas dasar belas kasihan dan sering kali lebih banyak menguntungkan satu dua individu sastrawan--bukan kepada sastra-nya.

Pemberdayaan sastra adalah termasuk upaya membebaskan sastra dari dominasi satu pribadi, baik dia bernama Rendra, Pramudya, Goenawan, Sutardji, maupun Chairil, dan sebagainya. Pemberdayaan sastra adalah usaha membebaskan sastra dari berbagai bentuk penindasan dan pengemisan. Sastra bukan saja untuk seluruh sastrawan, bukan saja untuk sastra, melainkaan juga untuk seluruh manusia.

Sastra tidak mungkin, tidak sanggup, dan tidak akan sudi berdiri sendiri. Sastra tidak memerlukan isolasi. Bahkan, sastra yang terisolasi pun selalu mencoba menerobos untuk memecahkan kerangkengnya. Sastra memiliki kepentingan mutlak untuk bekerja sama dengan seluruh sektor kehidupan dan perangkat negara karena dia ingin berbicara kepada setiap manusia/warga negara tanpa mengenal batas tingkat sosial, kecerdasan, dan kepangkatan. Bentuk kerja sama itu adalah kerja sama profesional atas dasar kegunaan timbal balik, bukan pemerasan atau pencekokan.

Upaya pemberdayaaan sastra dengan demikian adalah upaya menempatkan sastra pada posisi yang tepat dalam simfoni kehidupan sehingga sastra sebagai "sembako batin" jelas garisnya. Sebagai kebutuhan batin, hubungan antara sastra dan masyarakat tidak lagi menjadi ketegangan dan kucing-kucingan, tetapi saling membantu, saling mempergunakan, dan saling menyempurnakan.

Pemberdayaan sastra, dalam jalan pikiran saya, sama sekali bukan pemberantasan potensi sastra sebagai barang komoditas. Potensi sastra sebagai apa pun harusnya tetap dipupuk sebagai bagian dari kekuatan sastra. Pemberdayaan harus diartikan sebagai upaya penyeimbangan dari berbagai kekuatan sastra tersebut sehingga ia bisa hadir utuh dalam kehidupan serta berkembang sehingga selalu dapat menjawab tantangan zaman. Hal itu tidak perlu disimpulkan sebagai penentangan kepada "penguasa" -- selama kekuasaan adalah alat yang menjalankan kedaulatan rakyat.

Pemberdayaan sastra, dalam benak saya, mau tidak mau adalah pemberdayaan sastrawan untuk sementara. Dengan satrawan yang tidak berdaya, tidak akan mungkin ada sastra yang berdaya. Tanpa keberdayaan sastrawan Indonesia, sastra yang tidak berdaya tidak akan bisa dibuat berdaya dengan suntikan dan doping macam apa pun karena kita tidak berpikir tentang pemberdayaan semu sebagai slogan atau etalase dalam sebuah pameran. Peberdayaan yang saya maksud adalah bagaimana sastra menjadi hidup dan berkesinambungan.

Dengan sastrawan yang berdaya, tidak akan mungkin sastra menjadi lumpuh. Zaman sastra sebagai hasil orang ngelamun sudah lewat. Sastra bukan lagi nina bobok atau ekstasi untuk membuat orang teler. Sastra adalah hasil pikiran yang tidak kurang pentingnya dari berbagai percobaan fisika di laboratorium, tidak kurang pentingnya dari ekplorasi pencarian sumber-sumber kekayaan bumi di lepas pantai, dan tidak kurang pentingnya dari disertasi dan seminar-seminar ilmiah tentang bermacam pokok masalah secara mendalam.

Di dalam sebuah pertemuan antara sastrawan Indonesia dan sastrawan Prancis yang diprakarasai oleh Lembaga Kebudayaan Prancis di Bentara Budaya pada tahun 1990-an, terucap perbedaan posisi sastra di Prancis dan Indonesia. Di Prancis, menurut mereka, sastra sama kedudukannya dengan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinya para sastrawan juga setara harkatnya dengan para ilmuwan. Kedudukan tersebut tentu bukan status sosial. Akan tetapi, status sosial tersebut hanya kesimpulan dari apa adanya sastra dan para sastrawan. Akibatnya, satrawan pun memikul tanggung jawab ilmu pengetahuan atas profesinya.

Sastrawan sebagai pabrik sastra harus lebih dahulu berdaya. Hal itu tidak bisa dicapai hanya dengan slogan, teriakan, yel-yel, atau demo. Mustahil pula hal itu terjadi dengan surat sakti, beslit, atau tekanan satu kekuatan raksasa. Itu harus terjadi mulai dari hati pemberdayaan sastrawannya sendiri sehingga masyarakat memperoleh bukti yang nyata bahwa sastra memang berdaya.

Mobilisasi sastra adalah pemberdayaan sastrawan untuk merebut kepercayaan masyarakat bahwa sastra adalah penyambung lidah nasib mereka. Hal itu bukan sesuatu yang mustahil karena kita memiliki tradisi sastra yang tidak memalukan. Kita memiliki Mpu Walmiki, Mpu Kanwa, Prapanca, Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Raja Ali Haji, Ida Pedanda Dau Rauh, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Ida Pedanda Sidemen, Pramudya Ananta Toer, W.S. Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Darma, Taufiq Ismail, Sutardji C. Bachri, Sapardi Djoko Damono, Mangunwijaya, Danarto, Umar Kayam, Seno Gumira Aji Darma, Afrizal Malna, Ayu Utami, dan sebagainya



PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Lodzi Hady's Facebook profile

Previous Posts
Sejarah Kita Sendiri.. | RAMALAN JAYABAYA (JAYABAYA PREDICTION) | Negeri korup yang teramat berengsek! | Keberanian untuk bersyukur | MEMBERI | Siapa yang kejam: Jakarta atau Kamu? | Tak Usah Kita Tengkar ! | Pak Harto Setengah Tiang Vs kita Setengah Sinting? | Siapa seh yang ga pengen senang?... | Aksi - Refleksi Vs NARSISM |