Tuesday, December 5 |
SENI & PEMBEBASAN
|
Realitas Sosial Ketika kita bangun pagi hari-hari ini, jika kita hening pikir-hening rasa sejenak, maka tiba-tiba kita dibelalakkan oleh kenyataan bahwa disekitar kita terjadi akumulasi petaka: wabah busung lapar, nilai jeblok di sekolah-sekolah menengah, rentetan PHK, penggelembungan bola salju kemiskinan, pertikaian berdarah horisontal, bom meledak di mana-mana, korupsi hingga di wilayah perhajian, pola hidup konsumeristik di dalam kemiskinan, harga-harga bahan pokok membubung tinggi, kelangkaan bahan bakar minyak, tidak kalah alam bertingkah tsunami, krisis air bersih, krisis pemimpin bersih, nampaknya kemanusiaan sedang berhadapan dengan tantangan untuk terus eksis di lapisan biosfir ini.. Jika kita mencoba arif maka petaka tersebut dapat disebabkan dua hal, yaitu disebabkan oleh gerak alam dan oleh sistem politik dan ekonomi sebagai infrastruktur tak tertandigi masyarakat modern yaitu neoliberalisme, dengan ritual tahunannya berupa Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Davos, Swiss. Dan memang kemudian terbentuknya kegiatan penyeimbang semacam Forum Social Forum/WSF, semacam ruang bagi berbagai kelompok di dunia yang mencoba mengadvokasi kepentingan rakyat didunia termasuk di Indonesia akan hak-haknya dirampas korporasi global, namun gerakan ini tak sebanding dengan kekuatan global yang semakin menggurita nan meraksasa.
Sekilas Sejarah Gerakan Seni Perjalanan kesenian selalu sejalan dengan wajah realitas sosial dimana seni itu tumbuh berkembang. Sejauh ingatan manusia dapat dilacak, seni memiliki fungsi tidak hanya sebagai cermin peradaban, namun juga menjadi alat untuk mempertahankan hidup. Di goa-goa prasejarah senirupa menjadi blueprint bagi teknik dalam berburu yang efektif dalam kurun waktu lama. Jaman revolusi pertanian seni instalasi memedi sawah berguna untuk mengusir hama. Di jaman revolusi industri seni digunakan untuk propaganda produk dan propaganda melawan penindasan, propaganda ideologi-ideologi yang sedang bertarung.
Seni dapat terbaca oleh sejarah dan lebih bermanfaat ketika disuarakan secara massal. Era pencerahan diabad 15 merupakan visualisasi dari perkembangan ilmu pasti. Di Indonesia gerakan seni modern berwajahkan Moi Indie berjaya demi tuntutan oleh-oleh bagi kaum Eropa yang pulang kampung. Gerakan realisme termanifes oleh sekumpulan seniman PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar) yang dimotori oleh Agus Djaja dan Sudjojono yang merindukan kemerdekaan dari kolonialisme di tahun 1930an.
Perang Dingin melahirkan gerakan realisme sosialis yang berhadapan dengan kubu gerakan humanisme universal di negeri ini. Kemenangan kaum liberal melahirkan gerakan seni rupa abstrak di awal 1970an. Perayaan yang mencapai titik jenuhnya dibalas oleh gerakan yang menolak formalisme garis abdtrak yang menamakan “Gerakan Seni Rupa Baru”nya Bonyong Muni Ardhi dkk. Gerakan ini semakin tertajamkan oleh Mulyono Cs.. dengan gerakan “Seni Rupa Penyadaran”.
Ketika penindasan semakin tak tertahankan, Jaker (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) Semsar, Yayak kencrit, dll. Mengobarkan realisme sosialis sekali lagi sebagai luapan perasaan sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa bertangan besi dan korup. Hingga 1998 tirani bernama Ode Baru itu seolah tumbang, ruang demokrasi sempit ini digunakan oleh Heri Dono, Edi Hara hingga seniman-seniman revolusioner yang tergabung dalam Taring Padi, Jaker, Gerbong Bawah Tanah dll. di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta untuk berebut pengaruh melawan perusahaan-perusahaan raksasa yang turut bermain karena meyakini seni dapat menjadi media sosialisasi produk mereka. Gerakan kiri melemah seni kerakyatan terombang ambing dan globalisasi semakin leluasa menggerayang.
Poros Pembebasan “Seni Yang mengandung hal yang buruk dan tak bermoral bagi manusia meskipun indah, harus ditolak !” demikian seorang Plato berkesimpulan. Hal ini lebih ditajamkan ketika ber benturan dengan realitas sosial yang ada dengan statement dari Picasso: “ Lukisan diciptakan bukan untuk hiasan apartemen semata, namun senjata untuk bertahan dan melawan”. Maka dengan demikian seni yang yang mementingkan aspek intrinsiknya, yaitu seni untuk eksplorasi dari keindahan seni itu sendiri adalah tiada bermanfaat dan berbahaya ketika seni hanya membuai kesadaran masyarakat kepuncak pembebasan namun hanya dalam dunia ide ketika situasi sosial mengharapkan fungsi seni untuk membebaskan dari ketertindasan. Aspek ekstrinsik dari senilah yang sebaiknya diprioritaskan dalam berkesenian. Hal ini berarti seni yang mementingkan nilai pengalaman sehari-hari dari keterlibatan sang seniman dengan lingkungan hidupnyalah yang akan memfungsikan seni demi kemuliaan kemanusiaan. |
|
0 Comments: |
|
|
|
|
|
|
|
|