Tuesday, December 5 |
NEO-LIBERALISME DAN KEBUDAYAAN
|
Neo-liberalisme sedang mengubah kita luar-dalam, dari dalam dan dari luar. Ia bukan lagi guncingan, seolah-olah masih jauh. Polarisasi telah terjadi antara yang pro dan yang kontra. Persekutuan-persekutuan pun telah jadi. Begitu juga reaksi-reaksi bermunculan, mulai dari perlawanan hingga kepasrahan.
Gelombang neo-liberalisme di atas arus gobalisasi, yang dimudahkan oleh tekonologi informasi, dapat membebaskan seni ke ruang yang lebih besar,tetapi sekaligus memberlakukan hukum yang belum tentu adil dan memudahkansemua pelaku seni dan kebudayaan pada umumnya. Seni dan kebudayaan yang terlempar ke dalam pasar belum tentu utuh, malah mungkin terbelah-belah dalam kemasan-kemasan komoditi. Gagasan pokok "kebebasan" kelihatannya perlu menjadi pusat penyelidikan lagi. Apakah semua kebebasan itu sama, misalnya, sehingga kebebasan yang satu (misalnya dalam menganut agama) harus mengandaikan kebebasan yang lain (misalnya kebebasan modal)? Bagaimana kebebasan harus dilihat dalam hubungannya dengan hak-hak budaya sebagai proses tempatan ketika berhadapan dengan kebebasan modal? Apakah kebebasan ekspresi itu sama fundamentalnya dengan kebebasan pasar? Apakah kebebasan beragama itu sama fundamentalnya dengan kebebasan berkesenian?
Kebebasan multi-tafsir adalah surga bagi ekspresi kesenian. Tetapi fundamentalisme pasar mungkin akan melahirkan hanya kreativitas dan inovasi yang laku di pasar yang tidak pernah sempurna. Maka apakah benar kita ingin membiarkan pasar bebas menjadi tempat kesenian dan reproduksi sosial-budaya dipertaruhkan? Apakah kesenian dan reproduksi sosial-budaya hanya akan mendapatkan investasi melalui pasar bebas? Apakah fundamentalisme pasar juga harus berarti berkurangnya subsidi negara atas seni dan kegiatan-kegiatan kebudayaan?
Bagaimana pun, keadaan globalisasi yang bertumpu pada teknologi informasi akan mempercepat perubahan-perubahan, meluberkan batas-batas, mempercepat dan mengencerkan pertukaran-pertukaran. Bagaimana kebudayaan sedang berubah dalam konteks dan hubungan dengan semua itu? Bagaimana kesenian dapat memberikan refleksi-refleksi kritis sehingga manusia tidak hanya menjadi penerima pasif dari perubahan, tetapi penentunya, kalau pun memang perubahan harus terjadi? Bagaimana strategi kebudayaan dan kesenian menghadapi gelombang ini? Apakah ada strategi kelembagaan yang harus kita kembangkan? Apakah ini hanya menyangkut strategi ekspresi (komunikasi) dan ekonomi kesenian? Apakah ada strategi politik yang perlu dikembangkan pelaku kesenian dan kebudayaan? Bagaimana masyarakat harus menghargai dan menikmati kesenian di masa ini? Apakah pijakan kita untuk membujuk masyarakat menghargai dan menikmati kesenian di dalam pasar yang materialistik, instan, dan bergejolak ini? Tingkat kualitas dan strategi komunikasi apa yang harus dikembangkan oleh kesenian untuk dapat berperan maksimal dalam turut membentuk kebudayaan kontemporer kini dan mendatang?
Kita ingin memahami neo-liberalisme secara lebih utuh, tentang sejarah dan perkembangan mutakhirnya, wujud-wujudnya, serta mewaspadai konsekuensi-konsekuensi budayanya, dan mengkaji pilihan-pilihan alternatif dalam rangka kita berpikir strategis untuk terus menerus mempertahankan dan memperluas ruang kesenian dan kebudayaan. Kita ingin proaktif, sehingga tidak terlempar begitu saja ke dalam pusaran perubahan. |
|
1 Comments: |
-
kok mirip artikelnya herry-priyono ya?
|
|
|
|
|
|
|
|
kok mirip artikelnya herry-priyono ya?