Photobucket
Tuesday, January 30
DESIGNERNYA GARUDA
Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila)? Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu?

Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab —walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak —keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalbar dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan �over commando� kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.

Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan �ide perisai Pancasila� muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku �Bung Hatta Menjawab� untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya �Sekitar Pancasila� terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih �gundul� dan �’tidak berjambul�’ seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang �gundul� menjadi �berjambul� dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Monday, January 29
SUPERMAN's RELOADED
Jadi pengen bikin naskah baru nih... sepertinya me'return'kan Superman cukup menarik. 2004 aku nulis naskah Tewasnya Sang Superman dan cukup appreciated pada beberapa kali pertunjukannya. padahal aku sendiri masih sedikit kalang kabut soal tumpang tindih tokoh2 yang sengaja aku comot. misalnya tenggang waktu antara Jaka Tingkir dan Arya Penangsang. itulah kenapa aku pengen nulis lagi. kira kira judulnya ya sekitar "Superman's Reloaded" gitu.
premisnya ancang2 "Hilangnya Kanjeng Kyai Garudoyo" dengan poin di air suci Tirta prawitasari. ah embohlah. aku sendiri masih bingung n lagi coba ngumpulkan bahan2. pokoknya aku mau bicara tentang Pancasila. kayaknya Kesaktiannya tak boleh direduksi seperti sebelum2nya. bukan 1 oktober, bukan Penataran P4 juga bukan yang belakangan pasca '98 ga laku lagi. pancasila harus di kembalikan ke cita cita dasarnya ketika pertama kali dia lahir. bukan 18 agustus tapi Juni. karenanya, untuk menyembuhkan bangsa yang sakit dan hampir gila n habis habisan diperas negara negara maju ini air suci Tirta Prawitasari yang tak lain adalah penjelmaan Garuda (Pancasila) harus ditemukan-dikumpulkan dari 5 telaga (panca warna) yang angker jalmo moro jalmo mati. Jaka Tingkir harus memimpin orang2 tingkir yang dipedayakan kembali oleh Superman Cs....doakan ya teman temaann.....



Sunday, January 28
SAKSTIKAH PANCASILA?
[ artikel artikel tentang Pancasila - biar gak terlalu menuhin halaman - saya jadikan satu di sini. Lodzi ]

Oleh FRANZ MAGNIS-SUSENO

Selama Orde Baru, tanggal 1 Oktober dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Mengapa?

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi-pagi Gerakan 30 September (G30S, nama yang dipilih mereka sendiri) menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat, Kapten Tendean, dan memaklumkan Dewan Revolusi sebagai penguasa tertinggi di Indonesia.

Namun pada malam yang sama, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, dengan mengabaikan perintah Presiden Soekarno (yang ditampung incommunicado oleh G30S) menumpas kekuatan G30S.Mengapa kejadian-kejadian ini dianggap membutkikan kesaktian Pancasila?

Menurut Orde Baru, G30S merupakan kekuatan anti-Pancasila, dan kemenangan Soeharto dianggap membuktikan, setiap usaha untuk mendongkel Pancasila pasti gagal. Demikian menurut wacana Orde Baru. Kini orang jarang membicarakan Pancasila. Seakan-akan kita malu atau segan.

Keseganan ini dapat dimengerti. Selama puluhan tahun, Pancasila disalahgunakan guna membenarkan sistem Orde Baru yang kini dicela. Secara khusus Pancasila dipakai sebagai alat untuk membungkamkan segala tuntutan demokratisasi dan celaan terhadap pemerkosaan hak-hak asasi manusia.

Namun, Pancasila tidak boleh kita diamkan. Bahwa Pancasila disalahgunakan, tidak berarti nilai dan fungsinya hilang. Malah tujuh tahun sesudah Orde Baru jatuh, penegasan kembali Pancasila semakin mendesak.

Perlu diingat untuk apa Pancasila dicetuskan. Pancasila dicetuskan pertama kali oleh Soekarno untuk memecahkan konflik antara anggota BPUPKI yang mau mendasarkan Republik Indonesia atas nasionalisme sekuler dan mereka yang mau mendasarkannya pada agama Islam.

Hakikat Pancasila sebagai landasan persatuan bangsa Indonesia menjadi jelas pada 18 Agustus 1945. Atas desakan Hatta, demi persatuan Indonesia, PPKI, termasuk tokoh-tokoh Islamis, sepakat menghapus tujuh kata yang mewajibkan syariat Islam kepada para pemeluk agama Islam.

Sejarah perumusan dan pengesahan Pancasila ini menunjukkan, Pancasila tak lain adalah kesepakatan rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara, di mana semua warga sama kedudukannya, sama kewajiban, dan sama haknya. Jadi, semua warga masyarakat punya kedudukan sama, tanpa diskriminasi, tanpa membedakan agama, tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas, sama-sama memiliki kewajiban-kewajiban dan hak-hak dasar sebagai warga negara dan sebagai manusia.

Penegasan kembali

Hanya atas dasar Pancasila yang menjamin identitas semua komponen bangsa, tanpa membedakan antara warga negara kelas satu dan kelas dua, kemajemukan masyarakat Nusantara, mau dan bisa membentuk satu bangsa Indonesia dalam satu negara Indonesia.

Cabutlah Pancasila, dasar kesepakatan ratusan etnik dan suku di Nusantara untuk membentuk Indonesia, juga tercabut. Pancasila adalah jaminan atas kemungkinan balkanisasi Indonesia.

Sekarang kesepakatan dasar itu perlu ditegaskan kembali, berhadapan dengan intoleransi dan eksklusivisme yang makin tidak malu menunjukkan kepalanya.

Pancasila menuntut kesediaan rakyat Indonesia untuk saling menerima dalam kekhasan masing-masing.

Implikasi Pancasila adalah negara dan kehidupan bangsa Indonesia harus ditata secara inklusif. Setiap kelompok dapat hidup menurut cita-citanya, tetapi setiap usaha untuk memaksakan cita-cita salah satu kelompok, entah dia mayoritas atau minoritas, semuanya pasti membatalkan kesepakatan Pancasila dan tekad untuk membentuk satu negara dan satu bangsa Indonesia.

Saktikah Pancasila?
<>Saktikah Pancasila? Tanggal 1 Oktober 1965 dan buntutnya membuktikan, Pancasila hanya sesakti tekad dan kesetiaan mereka yang komit padanya.

Tanggal 1 Oktober 1965 lebih tepat disebut Hari Pengkhiatan Pancasila. Pertama oleh mereka yang melakukan makar dan secara brutal membunuh sembilan perwira tinggi Angkatan Darat.

Kedua oleh mereka yang kemudian membunuh, atau membiarkan dibunuh, ratusan ribu saudara dan saudari sebangsa, yang menangkap, dan sering menyiksa jutaan orang, yang menahan puluhan ribu orang lebih dari 10 tahun lamanya, yang mencuri hak warga, dan sering juga hak miliknya, dengan dalih mereka terlibat PKI/G30S, padahal banyak yang tidak terbukti. Itu semata-mata karena orientasi politik mereka, salah satu kebiadaban terbesar di bagian kedua abad ke-20.

Jelas, kesaktian Pancasila tergantung dari kita. Dan jelas juga Indonesia hanya akan menghindar dari nasib seperti Yugoslavia, apabila kita kembali secara nyata pada komitmen yang terungkap dalam Pancasila.
---------------------------------------------------------------------------------
Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
_______________________

oleh Andreas A Yewangoe

Menarik juga apabila kita menyimak berbagai polemik tentang perda-perda dalam bulan-bulan terakhir ini. Dimulai dengan petisi yang disampaikan 56 anggota DPR yang meminta pemerintah mencabut perda- perda yang ditengarai bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Belum lagi petisi ini ditanggapi, telah ada lagi kontra-petisi dari
134 anggota DPR lainnya yang justru meminta supaya tidak dengan mudah mencabut perda-perda seperti itu. Adanya perda-perda itu dilihat sebagai kebutuhan dari daerah yang menetapkannya.

Dalam majalah Gatra 6 Mei 2006, persoalan perda-perda ini dijadikan fokus pembahasan. Digambarkan berbagai kegairahan yang terdapat di daerah-daerah yang mau atau bahkan sudah menerapkan syariat Islam,seperti Kabupaten Bulukumba, Gowa, dan Wajo di Sulawesi Selatan. Hal serupa juga ditemukan di Banten dan Riau. Demikian juga beberapa kota seperti Cianjur, Tasikmalaya, Pamekasan, Mataram, dan Dompu.
Bagi sebagian orang, keberadaan perda ini disambut gembira. Tetapi bagi yang lainnya, mencemaskan. Setidaknya di daerah-daerah yang penduduknya tidak terlalu lazim dengan hal-hal bernuansa Islam,seperti NTT, Sulawesi Utara, Papua, dan seterusnya. Bahkan, menurut Gatra, ada yang mengancam untuk melepaskan diri dari NKRI.Sesungguhnya persoalan syariat Islam bukanlah sesuatu yang baru di dalam sejarah republik ini. Ia sudah dimulai ketika negara ini didirikan. Rasanya kita semua tahu bagaimana mendasarnya diskusi-diskusi, bahkan perdebatan-perdebatan di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan ketika kemerdekaan negeri kita dicanangkan.

Pertanyaan mendasar, di atas dasar manakah republik ini didirikan,telah dijawab dengan berbagai pandangan-pandangan. Tidak mudah memperoleh jawaban bagi sebuah negeri yang masyarakatnya sangat majemuk ditinjau dari berbagai segi: suku, agama, ras, etnis, dan golongan. Dua aliran besar pada waktu itu, untuk mudahnya sebut
saja "Islam" dan "kebangsaan" masing- masing mempunyai cita-cita mendirikan negara ini di atas dasar yang menurut mereka sangat pas dengan kenyata- an bangsa kita pada waktu itu.

Solusi Bung Karno

Tetapi Bung Karno, melalui pidatonya yang terkenal, "Lahirnya Pancasila" memberikan solusi. Pandangan beliau diambil-alih oleh "Panitia Sembilan" dengan "modifikasi" seperlunya. Panitia merumuskan naskah yang terkenal sebagai "Piagam Djakarta". Piagam
itulah, di mana dirumuskan secara jelas "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" diharapkan menjadi Muka- dimah UUD dari negara yang bakal didirikan.

Tetapi, justru anak kalimat itulah yang dicoret pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah adanya keberatan dari wakil-wakil Indonesia Timur. Mereka mencium adanya perlakuan "diskriminatif" kepada sebagian bangsa Indonesia dengan menerapkan hukum secara khusus itu.

Para pendiri negara pada waktu itu sungguh-sungguh berjiwa negarawan dan mempunyai visi jauh ke depan tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Maka terwujudlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bhinneka tunggal ika, berbeda tetapi satu jua adanya.

Rupanya dalam perjalanan sejarah bersama itu, pergumulan kita belum selesai dengan perumusan yang ada. Dinamika sejarah kita begitu bergeloranya, sehingga dasar negara tetap menjadi persoalan. Sidang Konstituante, yang merupakan hasil pilihan rakyat dalam Pemilu 1955 tidak berhasil merumuskan dasar negara.

Hal itu membuka peluang bagi Bung Karno sebagai Kepala Negara mengeluarkan Dekrit Presiden yang terkenal itu. Sekali lagi, sifat negara kebangsaan di- tegaskan. Tetapi bersama dengan itu diperkenalkan pula sistem "Demokrasi Terpimpin" yang membuka jalan
bagi kecenderungan kediktatoran Bung Karno.

Orde Baru muncul sebagai "koreksi" terhadap Orde Lama. Trauma terhadap kemungkinan keterjebakan dalam diskusi tentang ideologi yang tidak habis-habisnya, maka Pancasila diproklamasikan sebagai asas tunggal. Penataran P4 digiatkan. Pancasila telah menjadi alat kekuasaan dari sebuah rezim, ketimbang sebuah Weltanschauung yang mengayomi.


Ketika era reformasi tiba meruntuhkan Orde Baru, Pancasila pun ikut terdorong ke belakang. Pancasila dianggap tidak bisa lagi dipergunakan di dalam mengelola negara dan bangsa. Bahkan untuk menyebutkannya saja orang menjadi segan. Termasuk pejabat-pejabat pemerintah.

Sementara itu, UU Otonomi Daerah ikut mendorong timbulnya perda-perda yang dinilai tidak selalu sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi. Di beberapa daerah, perda-perda itu dinilai sebagai solusi menyelesaikan berbagai kemelut bangsa. Kendati penyusunan
perda-perda itu terkesan praktis, yaitu untuk menjawab kepentingan-kepentingan tertentu di daerah, namun di belakangnya terkandung hal-hal yang bersifat ideologis.

Persoalan Konkret

Perkembangan-perkembangan ini membawa kita kepada pertanyaan lanjutan, apakah memang perlu kita mempertanyakan hal-hal yang bersifat ideologis pada saat ini? Atau, tidakkah lebih produktif apabila kita mengarahkan seluruh perhatian kita kepada penyelesaian persoalan-persoalan konkret bangsa seperti kemiskinan,ketidaksejahteraan dan ketidakadilan yang meluas di tengah-tengah masya- rakat kita?

Berbagai ormas Islam, seperti NU misalnya telah menegaskan bahwa bagi mereka Pancasila telah definitif. Ini berarti, tidak perlu lagi kita mempersoalkannya. Tetapi kita didorong untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Maka, kerja keras dari semua anak bangsa diminta sebagai wujud nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Nila-
nilai agama pun sesungguhnya tercermin di dalam Pancasila.

Beberapa waktu lalu kita merayakan Hari Lahir Pancasila. Dalam rangka perayaan itu istilah revitalisasi Pancasila dipakai secara luas. Pilihan kata ini secara implisit mengindikasikan bahwa selama ini memang Pancasila telah mati suri. Tetapi revitalisasi dengan hanya mengucapkannya saja tidak cukup.

Kita mesti sungguh-sungguh mengonkretkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga di dalam menghasilkan berbagai produk hukum. Pada waktu lalu Pancasila sudah dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kalau kita benar-benar mau
merevitalisasikannya, kita mesti konsisten melaksanakan prinsip ini. Hidayat Nur Wahid benar ketika ia mengatakan bahwa sebelum Indonesia menjadi republik, negeri-negeri ini terdiri dari kerajaan- kerajaan Islam. Tetapi kerajaan- kerajaan Islam itu bukan Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa.

Indonesia adalah sebuah novum di dalam sejarah. Ia terdiri dari sekumpulan orang dengan derajat kemajemukan yang tinggi, namun ingin bersatu menyelesaikan berbagai persoalan bersama. Inilah keindonesiaan itu. Inilah yang mesti terus-menerus dibina.
Keindonesiaan mesti tertanam di dalam hati sanubari setiap anak bangsa yang berbeda-beda ini sebagai miliknya sendiri. Hanya dengan demikianlah kita bisa maju terus ke depan. Kalau tidak, kita akan gagal menjadi bangsa.
---------------------
Penulis adalah Ketua Umum PGI
_____________________________________________________________________________

DICARI BUKU PANCASILA YANG BENER

ADA ungkapan, sejarah adalah milik para pemenang. Begitu pula terhadap lahirnya Pancasila, ada tudingan masuk kategori sebagai manipulasi penguasa. Namun, buku-buku sejarah yang berbeda dengan versi pemerintah, ternyata sudah ada juga di pasaran. Bahkan, pelurusan sejarah pun menyelip lewat buku sastra.

Keberadaan Pancasila pernah menjadi polemik, terkait soal klaim bahwa yang pertama kali mengusulkannya adalah Muhammad Yamin, bukan Soekarno. Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, rekayasa sejarah lahirnya Pancasila, berlangsung sejak awal Orde Baru untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto.
Selain memberi legitimasi historis kepada Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung Soekarno tampil di kancah politik nasional. >Pada 1 Juni 1945, Soekarno berkesempatan menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato tersebut disampaikan di depan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI-Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Sembilan, yang diketuai Soekarno, untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang Soekarno, pada 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Lalu, setiap tanggal 1 Juni pun diperingati sebagai hari lahir Pancasila.

Namun, sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan lahirnya Pancasila. Kontroversi lahirnya Pancasila pun dimulai dengan terbitnya buku Nugroho Notosusanto berjudul "Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pantjasila jang otentik" (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971). Dalam buku itu, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila. Yaitu, yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni 1945), berdasarkan hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945), dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945, karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah, yakni berlandaskan proklamasi, pada 18 Agustus 1945.
<>
Dijelaskan Asvi, Muh. Yamin sendiri dalam bukunya mengakui, Soekarno sebagai penggali Pancasila. Panitia Lima yang diketuai Hatta juga mengakui Soekarno yang pertama berpidato tentang Pancasila. "Itu kan membodohi bangsa. Sejarah tidak ditulis dengan benar dan itu berlangsung selama puluhan tahun," kata Asvi.

Asvi, yang banyak menulis tentang pelurusan sejarah ini, mengatakan bahwa hal tersebut bukan dimaksudkan untuk pengultusan seseorang. "Kalau memang jasa itu benar, silahkan ditulis. Kalau tidak, ya jangan. Mengecilkan jasa seseorang, tentu tidak fair," katanya.

Masalahnya kemudian, kata Asvi, yang diajarkan di sekolah adalah versi pemerintah. Sekarang ini standar buku pun belum berubah. Maka, kata Asvi, guru dan murid jadi bingung. "Tapi, saat ini sudah ada juga buku-buku yang berbeda dengan versi pemerintah," kata Asvi.

Asvi pun menyoroti upaya-upaya pelurusan sejarah melalui buku sastra, seperti berbagai novel yang kini mulai banyak beredar. "Itu sangat menarik," katanya. ***
______________________________________________________________________________

Tentang Kelahiran Pancasila Sakti
[Rakyat Merdeka, 2 Juni 1999]

Suku-suku primitif dimana-mana di permukaan planet, menurut antropolog tenar Margaret Mead, memiliki pandangan hidup masing-masing, sesuai dengan tingkat peradaban mereka, kultur mereka, cara hidup dan cara mereka survive, dan tanggapan mereka terhadap "dunia" bangsa-bangsa asing yang berpapasan
dengan mereka dalam lalu-lintas pergaulan internasional, tidak terkecuali suku-suku yang hidup di wilayah Nusantara. Hal ini diketahui dengan jelas oleh tidak saja para founding fathers Republik 17 Agustus 1945 yang telah tiada, akan tetapi juga para pakar antropologi budaya yang tidak segan-segan mendalami disiplin mereka dan tidak a-priori menolak premis-premis dan spekulasi pakar-pakar lain.

Ketika oleh bangsa Indonesia disadari bahwa penjajahan kolonial tidak lagi cocok dengan rasa peri-keadilan dan peri-kemanusiaan, dan oleh tuntutan sejarah harus dibuang ke keranjang sampah, maka bagi suku-suku di Nusantara secara mutlak diperlukan suatu Weltanschauung, dalam bahasa Inggris
juga disebut sebagai worldview, yang mampu mempersatukan semua suku dengan sub-kultur masing-masing, yang tidak kalah mutunya dengan bangsa-bangsa maju, seperti katakan saja Declaration of Independence atau "Manifesto Komunis" sekali pun.

Maka pada 1 Juni 1945, "lahirlah" apa yang kemudian disebut "Pancasila" sebagai manifesti hak keberadaan, yaitu raison d'etre suatu bangsa yang ratusan tahun dijajah, yang tidak memiliki Weltanschauung dan dengan demikian juga tidak memiliki jatidiri. Beberapa saat setelah "Pancasila" pada 1 Juni 1945, oleh para hadirin dalam apa yang disebut sebagai "Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (Dokuritsu Zunbi Chasakai), diterima secara aklamasi sebagai dasar falsafah negara, maka
tidak kurang dari enamratus suku di Nusantara mulai sadar bahwa mereka dipersatukan dalam kesamaan nasib, penderitaan serta "kodrat" bahwa mau tidak mau mereka harus bersatu dan menjadikan bangsa Indonesia suatu nasion yang homogen, jika mereka di kemudian hari tidak mau berkeping-keping dan musnah oleh benturan-benturan yang dihadirkan sejarah.
Pada hari ini, yaitu 54 tahun setelah Pancasila lahir, oleh perumusan Ir. Soekarno (yang sehari sebelumnya disinggung pula oleh Mr. Moh Yamin) maka kita boleh mempertanyakan kepada diri
kita sendiri, apa kira-kira jadinya Republik kita ini, seandainya tidak ada Pancasila dan tidak ada UUD 1945, ketika itu. Sudah jelas bahwa suatu negara federal semacam buatan JH van Mook dengan Luitenat Generaal Simon H Spoor atau penggantinya Luitenant Generaal Buurman van Vreeden yang menjadi panglima Tentara Federal Republik Indonesia Serikat, dan bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa "inlander" yang harus takluk kepada "Mahkota Kerajaan Belanda".

Akan tetapi, semangat kolonial Belanda dibantu oleh kekuatan-kekuatan reaksioner dari kapitalisme internasional berhasil gemilang untuk menyingkirkan Soekarno dari gelanggang politik di Indonesia; serta-merta mendudukkan Jenderal TNI Soeharto sebagai pengganti Soekarno, untuk tidak saja melakukan de-soekarnoisasi serta membasmi semangat kebangsaan dan patriotik dari bumi Nusantara, dengan dalih "komunis, Islam fundamentalis, dan subversi lain-lain", termasuk membalikkan arah perjalanan sejarah bangsa.

Kini, setelah Soeharto lengser keprabon, dan semua masalah yang tempo hari gelap gulita sudah mulai mmenunjukkan tanda-tanda terang, kita dihadapkan kepada persoalan baru sejarah, yakni mengikuti gagasan Letnan Gubernur Jenderal JH van Mook untuk menjadi negara federal, mengganti Pancasila dengan Weltanschauung lain, menggantikan UUD 1945 (atau memulai babak baru sejarah, dengan melenyapkan Soehartoisme - sebab searah dengan neo-kolonialisme - dan tidak sesuai dengan peri-keadilan dan peri-kemanusiaan?.

Kesemuanya terserah kepada rakyat Indonesia. Sebab apa? Rakyatlah pemilik sah bumi Nusantara, dan yang berhak penuh untuk menentukan nasib bangsa Indonesia di kemudian hari.

PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Lodzi Hady's Facebook profile

Previous Posts
Sejarah Kita Sendiri.. | RAMALAN JAYABAYA (JAYABAYA PREDICTION) | Negeri korup yang teramat berengsek! | Keberanian untuk bersyukur | MEMBERI | Siapa yang kejam: Jakarta atau Kamu? | Tak Usah Kita Tengkar ! | Pak Harto Setengah Tiang Vs kita Setengah Sinting? | Siapa seh yang ga pengen senang?... | Aksi - Refleksi Vs NARSISM |