Sunday, January 28 |
SAKSTIKAH PANCASILA?
|
[ artikel artikel tentang Pancasila - biar gak terlalu menuhin halaman - saya jadikan satu di sini. Lodzi ]
Oleh FRANZ MAGNIS-SUSENO
Selama Orde Baru, tanggal 1 Oktober dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Mengapa?
Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi-pagi Gerakan 30 September (G30S, nama yang dipilih mereka sendiri) menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat, Kapten Tendean, dan memaklumkan Dewan Revolusi sebagai penguasa tertinggi di Indonesia.
Namun pada malam yang sama, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, dengan mengabaikan perintah Presiden Soekarno (yang ditampung incommunicado oleh G30S) menumpas kekuatan G30S.Mengapa kejadian-kejadian ini dianggap membutkikan kesaktian Pancasila?
Menurut Orde Baru, G30S merupakan kekuatan anti-Pancasila, dan kemenangan Soeharto dianggap membuktikan, setiap usaha untuk mendongkel Pancasila pasti gagal. Demikian menurut wacana Orde Baru. Kini orang jarang membicarakan Pancasila. Seakan-akan kita malu atau segan.
Keseganan ini dapat dimengerti. Selama puluhan tahun, Pancasila disalahgunakan guna membenarkan sistem Orde Baru yang kini dicela. Secara khusus Pancasila dipakai sebagai alat untuk membungkamkan segala tuntutan demokratisasi dan celaan terhadap pemerkosaan hak-hak asasi manusia.
Namun, Pancasila tidak boleh kita diamkan. Bahwa Pancasila disalahgunakan, tidak berarti nilai dan fungsinya hilang. Malah tujuh tahun sesudah Orde Baru jatuh, penegasan kembali Pancasila semakin mendesak.
Perlu diingat untuk apa Pancasila dicetuskan. Pancasila dicetuskan pertama kali oleh Soekarno untuk memecahkan konflik antara anggota BPUPKI yang mau mendasarkan Republik Indonesia atas nasionalisme sekuler dan mereka yang mau mendasarkannya pada agama Islam.
Hakikat Pancasila sebagai landasan persatuan bangsa Indonesia menjadi jelas pada 18 Agustus 1945. Atas desakan Hatta, demi persatuan Indonesia, PPKI, termasuk tokoh-tokoh Islamis, sepakat menghapus tujuh kata yang mewajibkan syariat Islam kepada para pemeluk agama Islam.
Sejarah perumusan dan pengesahan Pancasila ini menunjukkan, Pancasila tak lain adalah kesepakatan rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara, di mana semua warga sama kedudukannya, sama kewajiban, dan sama haknya. Jadi, semua warga masyarakat punya kedudukan sama, tanpa diskriminasi, tanpa membedakan agama, tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas, sama-sama memiliki kewajiban-kewajiban dan hak-hak dasar sebagai warga negara dan sebagai manusia.
Penegasan kembali
Hanya atas dasar Pancasila yang menjamin identitas semua komponen bangsa, tanpa membedakan antara warga negara kelas satu dan kelas dua, kemajemukan masyarakat Nusantara, mau dan bisa membentuk satu bangsa Indonesia dalam satu negara Indonesia.
Cabutlah Pancasila, dasar kesepakatan ratusan etnik dan suku di Nusantara untuk membentuk Indonesia, juga tercabut. Pancasila adalah jaminan atas kemungkinan balkanisasi Indonesia.
Sekarang kesepakatan dasar itu perlu ditegaskan kembali, berhadapan dengan intoleransi dan eksklusivisme yang makin tidak malu menunjukkan kepalanya.
Pancasila menuntut kesediaan rakyat Indonesia untuk saling menerima dalam kekhasan masing-masing.
Implikasi Pancasila adalah negara dan kehidupan bangsa Indonesia harus ditata secara inklusif. Setiap kelompok dapat hidup menurut cita-citanya, tetapi setiap usaha untuk memaksakan cita-cita salah satu kelompok, entah dia mayoritas atau minoritas, semuanya pasti membatalkan kesepakatan Pancasila dan tekad untuk membentuk satu negara dan satu bangsa Indonesia.
Saktikah Pancasila? <>Saktikah Pancasila? Tanggal 1 Oktober 1965 dan buntutnya membuktikan, Pancasila hanya sesakti tekad dan kesetiaan mereka yang komit padanya.
Tanggal 1 Oktober 1965 lebih tepat disebut Hari Pengkhiatan Pancasila. Pertama oleh mereka yang melakukan makar dan secara brutal membunuh sembilan perwira tinggi Angkatan Darat.
Kedua oleh mereka yang kemudian membunuh, atau membiarkan dibunuh, ratusan ribu saudara dan saudari sebangsa, yang menangkap, dan sering menyiksa jutaan orang, yang menahan puluhan ribu orang lebih dari 10 tahun lamanya, yang mencuri hak warga, dan sering juga hak miliknya, dengan dalih mereka terlibat PKI/G30S, padahal banyak yang tidak terbukti. Itu semata-mata karena orientasi politik mereka, salah satu kebiadaban terbesar di bagian kedua abad ke-20.
Jelas, kesaktian Pancasila tergantung dari kita. Dan jelas juga Indonesia hanya akan menghindar dari nasib seperti Yugoslavia, apabila kita kembali secara nyata pada komitmen yang terungkap dalam Pancasila. --------------------------------------------------------------------------------- Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta _______________________
oleh Andreas A Yewangoe
Menarik juga apabila kita menyimak berbagai polemik tentang perda-perda dalam bulan-bulan terakhir ini. Dimulai dengan petisi yang disampaikan 56 anggota DPR yang meminta pemerintah mencabut perda- perda yang ditengarai bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Belum lagi petisi ini ditanggapi, telah ada lagi kontra-petisi dari 134 anggota DPR lainnya yang justru meminta supaya tidak dengan mudah mencabut perda-perda seperti itu. Adanya perda-perda itu dilihat sebagai kebutuhan dari daerah yang menetapkannya.
Dalam majalah Gatra 6 Mei 2006, persoalan perda-perda ini dijadikan fokus pembahasan. Digambarkan berbagai kegairahan yang terdapat di daerah-daerah yang mau atau bahkan sudah menerapkan syariat Islam,seperti Kabupaten Bulukumba, Gowa, dan Wajo di Sulawesi Selatan. Hal serupa juga ditemukan di Banten dan Riau. Demikian juga beberapa kota seperti Cianjur, Tasikmalaya, Pamekasan, Mataram, dan Dompu. Bagi sebagian orang, keberadaan perda ini disambut gembira. Tetapi bagi yang lainnya, mencemaskan. Setidaknya di daerah-daerah yang penduduknya tidak terlalu lazim dengan hal-hal bernuansa Islam,seperti NTT, Sulawesi Utara, Papua, dan seterusnya. Bahkan, menurut Gatra, ada yang mengancam untuk melepaskan diri dari NKRI.Sesungguhnya persoalan syariat Islam bukanlah sesuatu yang baru di dalam sejarah republik ini. Ia sudah dimulai ketika negara ini didirikan. Rasanya kita semua tahu bagaimana mendasarnya diskusi-diskusi, bahkan perdebatan-perdebatan di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan ketika kemerdekaan negeri kita dicanangkan.
Pertanyaan mendasar, di atas dasar manakah republik ini didirikan,telah dijawab dengan berbagai pandangan-pandangan. Tidak mudah memperoleh jawaban bagi sebuah negeri yang masyarakatnya sangat majemuk ditinjau dari berbagai segi: suku, agama, ras, etnis, dan golongan. Dua aliran besar pada waktu itu, untuk mudahnya sebut saja "Islam" dan "kebangsaan" masing- masing mempunyai cita-cita mendirikan negara ini di atas dasar yang menurut mereka sangat pas dengan kenyata- an bangsa kita pada waktu itu.
Solusi Bung Karno
Tetapi Bung Karno, melalui pidatonya yang terkenal, "Lahirnya Pancasila" memberikan solusi. Pandangan beliau diambil-alih oleh "Panitia Sembilan" dengan "modifikasi" seperlunya. Panitia merumuskan naskah yang terkenal sebagai "Piagam Djakarta". Piagam itulah, di mana dirumuskan secara jelas "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" diharapkan menjadi Muka- dimah UUD dari negara yang bakal didirikan.
Tetapi, justru anak kalimat itulah yang dicoret pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah adanya keberatan dari wakil-wakil Indonesia Timur. Mereka mencium adanya perlakuan "diskriminatif" kepada sebagian bangsa Indonesia dengan menerapkan hukum secara khusus itu.
Para pendiri negara pada waktu itu sungguh-sungguh berjiwa negarawan dan mempunyai visi jauh ke depan tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Maka terwujudlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bhinneka tunggal ika, berbeda tetapi satu jua adanya.
Rupanya dalam perjalanan sejarah bersama itu, pergumulan kita belum selesai dengan perumusan yang ada. Dinamika sejarah kita begitu bergeloranya, sehingga dasar negara tetap menjadi persoalan. Sidang Konstituante, yang merupakan hasil pilihan rakyat dalam Pemilu 1955 tidak berhasil merumuskan dasar negara.
Hal itu membuka peluang bagi Bung Karno sebagai Kepala Negara mengeluarkan Dekrit Presiden yang terkenal itu. Sekali lagi, sifat negara kebangsaan di- tegaskan. Tetapi bersama dengan itu diperkenalkan pula sistem "Demokrasi Terpimpin" yang membuka jalan bagi kecenderungan kediktatoran Bung Karno.
Orde Baru muncul sebagai "koreksi" terhadap Orde Lama. Trauma terhadap kemungkinan keterjebakan dalam diskusi tentang ideologi yang tidak habis-habisnya, maka Pancasila diproklamasikan sebagai asas tunggal. Penataran P4 digiatkan. Pancasila telah menjadi alat kekuasaan dari sebuah rezim, ketimbang sebuah Weltanschauung yang mengayomi.
Ketika era reformasi tiba meruntuhkan Orde Baru, Pancasila pun ikut terdorong ke belakang. Pancasila dianggap tidak bisa lagi dipergunakan di dalam mengelola negara dan bangsa. Bahkan untuk menyebutkannya saja orang menjadi segan. Termasuk pejabat-pejabat pemerintah.
Sementara itu, UU Otonomi Daerah ikut mendorong timbulnya perda-perda yang dinilai tidak selalu sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi. Di beberapa daerah, perda-perda itu dinilai sebagai solusi menyelesaikan berbagai kemelut bangsa. Kendati penyusunan perda-perda itu terkesan praktis, yaitu untuk menjawab kepentingan-kepentingan tertentu di daerah, namun di belakangnya terkandung hal-hal yang bersifat ideologis.
Persoalan Konkret
Perkembangan-perkembangan ini membawa kita kepada pertanyaan lanjutan, apakah memang perlu kita mempertanyakan hal-hal yang bersifat ideologis pada saat ini? Atau, tidakkah lebih produktif apabila kita mengarahkan seluruh perhatian kita kepada penyelesaian persoalan-persoalan konkret bangsa seperti kemiskinan,ketidaksejahteraan dan ketidakadilan yang meluas di tengah-tengah masya- rakat kita?
Berbagai ormas Islam, seperti NU misalnya telah menegaskan bahwa bagi mereka Pancasila telah definitif. Ini berarti, tidak perlu lagi kita mempersoalkannya. Tetapi kita didorong untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Maka, kerja keras dari semua anak bangsa diminta sebagai wujud nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Nila- nilai agama pun sesungguhnya tercermin di dalam Pancasila.
Beberapa waktu lalu kita merayakan Hari Lahir Pancasila. Dalam rangka perayaan itu istilah revitalisasi Pancasila dipakai secara luas. Pilihan kata ini secara implisit mengindikasikan bahwa selama ini memang Pancasila telah mati suri. Tetapi revitalisasi dengan hanya mengucapkannya saja tidak cukup.
Kita mesti sungguh-sungguh mengonkretkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga di dalam menghasilkan berbagai produk hukum. Pada waktu lalu Pancasila sudah dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kalau kita benar-benar mau merevitalisasikannya, kita mesti konsisten melaksanakan prinsip ini. Hidayat Nur Wahid benar ketika ia mengatakan bahwa sebelum Indonesia menjadi republik, negeri-negeri ini terdiri dari kerajaan- kerajaan Islam. Tetapi kerajaan- kerajaan Islam itu bukan Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
Indonesia adalah sebuah novum di dalam sejarah. Ia terdiri dari sekumpulan orang dengan derajat kemajemukan yang tinggi, namun ingin bersatu menyelesaikan berbagai persoalan bersama. Inilah keindonesiaan itu. Inilah yang mesti terus-menerus dibina. Keindonesiaan mesti tertanam di dalam hati sanubari setiap anak bangsa yang berbeda-beda ini sebagai miliknya sendiri. Hanya dengan demikianlah kita bisa maju terus ke depan. Kalau tidak, kita akan gagal menjadi bangsa. --------------------- Penulis adalah Ketua Umum PGI _____________________________________________________________________________
DICARI BUKU PANCASILA YANG BENER
ADA ungkapan, sejarah adalah milik para pemenang. Begitu pula terhadap lahirnya Pancasila, ada tudingan masuk kategori sebagai manipulasi penguasa. Namun, buku-buku sejarah yang berbeda dengan versi pemerintah, ternyata sudah ada juga di pasaran. Bahkan, pelurusan sejarah pun menyelip lewat buku sastra.
Keberadaan Pancasila pernah menjadi polemik, terkait soal klaim bahwa yang pertama kali mengusulkannya adalah Muhammad Yamin, bukan Soekarno. Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, rekayasa sejarah lahirnya Pancasila, berlangsung sejak awal Orde Baru untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto. Selain memberi legitimasi historis kepada Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung Soekarno tampil di kancah politik nasional. >Pada 1 Juni 1945, Soekarno berkesempatan menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato tersebut disampaikan di depan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI-Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Sembilan, yang diketuai Soekarno, untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang Soekarno, pada 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Lalu, setiap tanggal 1 Juni pun diperingati sebagai hari lahir Pancasila.
Namun, sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan lahirnya Pancasila. Kontroversi lahirnya Pancasila pun dimulai dengan terbitnya buku Nugroho Notosusanto berjudul "Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pantjasila jang otentik" (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971). Dalam buku itu, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila. Yaitu, yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni 1945), berdasarkan hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945), dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945, karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah, yakni berlandaskan proklamasi, pada 18 Agustus 1945. <> Dijelaskan Asvi, Muh. Yamin sendiri dalam bukunya mengakui, Soekarno sebagai penggali Pancasila. Panitia Lima yang diketuai Hatta juga mengakui Soekarno yang pertama berpidato tentang Pancasila. "Itu kan membodohi bangsa. Sejarah tidak ditulis dengan benar dan itu berlangsung selama puluhan tahun," kata Asvi.
Asvi, yang banyak menulis tentang pelurusan sejarah ini, mengatakan bahwa hal tersebut bukan dimaksudkan untuk pengultusan seseorang. "Kalau memang jasa itu benar, silahkan ditulis. Kalau tidak, ya jangan. Mengecilkan jasa seseorang, tentu tidak fair," katanya.
Masalahnya kemudian, kata Asvi, yang diajarkan di sekolah adalah versi pemerintah. Sekarang ini standar buku pun belum berubah. Maka, kata Asvi, guru dan murid jadi bingung. "Tapi, saat ini sudah ada juga buku-buku yang berbeda dengan versi pemerintah," kata Asvi.
Asvi pun menyoroti upaya-upaya pelurusan sejarah melalui buku sastra, seperti berbagai novel yang kini mulai banyak beredar. "Itu sangat menarik," katanya. *** ______________________________________________________________________________
Tentang Kelahiran Pancasila Sakti [Rakyat Merdeka, 2 Juni 1999]
Suku-suku primitif dimana-mana di permukaan planet, menurut antropolog tenar Margaret Mead, memiliki pandangan hidup masing-masing, sesuai dengan tingkat peradaban mereka, kultur mereka, cara hidup dan cara mereka survive, dan tanggapan mereka terhadap "dunia" bangsa-bangsa asing yang berpapasan dengan mereka dalam lalu-lintas pergaulan internasional, tidak terkecuali suku-suku yang hidup di wilayah Nusantara. Hal ini diketahui dengan jelas oleh tidak saja para founding fathers Republik 17 Agustus 1945 yang telah tiada, akan tetapi juga para pakar antropologi budaya yang tidak segan-segan mendalami disiplin mereka dan tidak a-priori menolak premis-premis dan spekulasi pakar-pakar lain.
Ketika oleh bangsa Indonesia disadari bahwa penjajahan kolonial tidak lagi cocok dengan rasa peri-keadilan dan peri-kemanusiaan, dan oleh tuntutan sejarah harus dibuang ke keranjang sampah, maka bagi suku-suku di Nusantara secara mutlak diperlukan suatu Weltanschauung, dalam bahasa Inggris juga disebut sebagai worldview, yang mampu mempersatukan semua suku dengan sub-kultur masing-masing, yang tidak kalah mutunya dengan bangsa-bangsa maju, seperti katakan saja Declaration of Independence atau "Manifesto Komunis" sekali pun.
Maka pada 1 Juni 1945, "lahirlah" apa yang kemudian disebut "Pancasila" sebagai manifesti hak keberadaan, yaitu raison d'etre suatu bangsa yang ratusan tahun dijajah, yang tidak memiliki Weltanschauung dan dengan demikian juga tidak memiliki jatidiri. Beberapa saat setelah "Pancasila" pada 1 Juni 1945, oleh para hadirin dalam apa yang disebut sebagai "Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (Dokuritsu Zunbi Chasakai), diterima secara aklamasi sebagai dasar falsafah negara, maka tidak kurang dari enamratus suku di Nusantara mulai sadar bahwa mereka dipersatukan dalam kesamaan nasib, penderitaan serta "kodrat" bahwa mau tidak mau mereka harus bersatu dan menjadikan bangsa Indonesia suatu nasion yang homogen, jika mereka di kemudian hari tidak mau berkeping-keping dan musnah oleh benturan-benturan yang dihadirkan sejarah. Pada hari ini, yaitu 54 tahun setelah Pancasila lahir, oleh perumusan Ir. Soekarno (yang sehari sebelumnya disinggung pula oleh Mr. Moh Yamin) maka kita boleh mempertanyakan kepada diri kita sendiri, apa kira-kira jadinya Republik kita ini, seandainya tidak ada Pancasila dan tidak ada UUD 1945, ketika itu. Sudah jelas bahwa suatu negara federal semacam buatan JH van Mook dengan Luitenat Generaal Simon H Spoor atau penggantinya Luitenant Generaal Buurman van Vreeden yang menjadi panglima Tentara Federal Republik Indonesia Serikat, dan bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa "inlander" yang harus takluk kepada "Mahkota Kerajaan Belanda".
Akan tetapi, semangat kolonial Belanda dibantu oleh kekuatan-kekuatan reaksioner dari kapitalisme internasional berhasil gemilang untuk menyingkirkan Soekarno dari gelanggang politik di Indonesia; serta-merta mendudukkan Jenderal TNI Soeharto sebagai pengganti Soekarno, untuk tidak saja melakukan de-soekarnoisasi serta membasmi semangat kebangsaan dan patriotik dari bumi Nusantara, dengan dalih "komunis, Islam fundamentalis, dan subversi lain-lain", termasuk membalikkan arah perjalanan sejarah bangsa.
Kini, setelah Soeharto lengser keprabon, dan semua masalah yang tempo hari gelap gulita sudah mulai mmenunjukkan tanda-tanda terang, kita dihadapkan kepada persoalan baru sejarah, yakni mengikuti gagasan Letnan Gubernur Jenderal JH van Mook untuk menjadi negara federal, mengganti Pancasila dengan Weltanschauung lain, menggantikan UUD 1945 (atau memulai babak baru sejarah, dengan melenyapkan Soehartoisme - sebab searah dengan neo-kolonialisme - dan tidak sesuai dengan peri-keadilan dan peri-kemanusiaan?.
Kesemuanya terserah kepada rakyat Indonesia. Sebab apa? Rakyatlah pemilik sah bumi Nusantara, dan yang berhak penuh untuk menentukan nasib bangsa Indonesia di kemudian hari.
|
|
0 Comments: |
|
|
|
|
|
|